Senin, 15 Juni 2009

ANALISIS FAKTOR dengan MINITAB

Indo Yama Nasarudin

Pemilihan analisis faktor sebagai alat analisis pada penelitian ini, disebabkan karena penelitian ini mencoba menemukan hubungan (interrelationship) beberapa variabel yang saling independen satu dengan yang lainnya, sehingga bisa dibuat kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal sehingga akan lebih mudah dikontrol oleh manajemen perusahaan atau pemegang kebijakan perusahaan.
Tujuan Analisis Faktor pada dasarnya tujuan analisis faktor adalah untuk melakukan data summarization untuk variabel-variabel yang dianalisis, yakni mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel. Data reduction, yakni setelah melakukan korelasi, dilakukan proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor.
Analisis faktor merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk memahami yang mendasari dimensi-dimensi atau regularitas suatu gejala. Tujuan utama teknik ini ialah untuk membuat ringkasan informasi yang dikandung dalam sejumlah besar variable kedalam suatu kelompok faktor yang lebih kecil. Secara statistik tujuan pokok teknik ini ialah untuk menentukan kombinasi linear variable-variabel yang akan membantu dalam penyeledikan saling keterkaitannya variable-variabel tersebut. Atau dengan kata lain digunakan untuk mengidentifikasi variabel-variabel atau faktor-faktor yang menerangkan pola hubungan dalam seperangkat variabel. Teknik ini bermanfaat untuk mengurangi jumlah data dalam rangka untuk mengidentifikasi sebagian kecil faktor yang dapat menerangkan varians yang sedang diteliti secara lebih jelas dalam suatu kelompok variabel yang jumlahnya lebih besar.
Kegunaan utama analisis faktor ialah untuk melakukan pengurangan data atau dengan kata lain melakukan peringkasan sejumlah variabel menjadi lebih kecil jumlahnya. Pengurangan dilakukan dengan melihat interdependensi beberapa variabel yang dapat dijadikan satu yang disebut dengan faktor sehingga diketemukan variabel-variabel atau faktor-faktor yang dominan atau penting untuk dianalisa lebih lanjut.
Prosedur analisis faktor juga dapat digunakan untuk membuat hipotesis yang mempertimbangkan mekanisme sebab akibat atau menyaring sejumlah variabel untuk kemudian dilakukan analisis selanjutnya, misalnya mengidentifikasi kolinearitas sebelum melakukan analisis regresi linear.
Dalam prosedur analisis faktor, terdapat tingkatan fleksibilitas tinggi, diantaranya ialah:
· Tujuh metode untuk membuat ekstrasi faktor.
· Lima metode rotasi, diantaranya ialah direct oblimin dan promax untuk rotasi non orthogonal.
· Tiga metode untuk menghitung nilai-nilai faktor dan kemudian faktor-faktor tersebut dapat disimpan ke dalam file untuk dianalisis lebih lanjut.
Sebagai contoh dalam suatu penelitian, kita ingin mengetahui sikap-sikap apa saja yang mendasari orang mau memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam suatu survei politik? Dari hasil penelitian didapatkan adanya tumpang tindih yang signifikan antara berbagai sub-kelompok butir-butir pertanyaan, misalnya pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah perpajakan cenderung untuk berkorelasi satu dengan lainnya, masalah militer saling berkorelasi, masalah ekonomi juga demikian. Jika terjadi demikian, maka kita sebaiknya menyelesaikan persoalan tersebut dengan menggunakan analisis faktor. Dengan teknik ini kita dapat melakukan penyelidikan sejumlah faktor yang mendasarinya dan dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mewakilinya secara konseptual. Tidak hanya itu, kita juga dapat menghitung nilai-nilai untuk masing-masing responden dan kemudian dipergunakan untuk analisis selanjutnya. Sebagai contoh kita dapat membuat model regresi logistik untuk memprediksi perilaku pemberian suara didasarkan pada nilai-nilai faktor. Untuk menggunakan teknik ini persyaratan yang sebaiknya dipenuhi ialah:
· Data yang digunakan ialah data kuantitatif berskala interval atau ratio.
· Data harus mempunyai distribusi normal bivariate untuk masing-masing pasangan variable
· Model ini mengkhususkan bahwa semua variabel ditentukan oleh faktor-faktor biasa (faktor-faktor yang diestimasikan oleh model) dan faktor-faktor unik (yang tidak tumpang tindih antara variabel-varaibel yang sedang diobservasi)
· Estimasi yang dihitung didasarkan pada asumsi bahwa semua faktor unik are tidak saling berkorelasi satu dengan lainnya dan dengan faktor-faktor biasa.
· Persyaratan dasar untuk melakukan penggabungan ialah besarnya korelasi antar variabel independen setidak-tidaknya 0,5 karena prinsip analisis faktor ialah adanya korelasi antar variabel.

2.1. Langkah-langkah Penyelesaian Analisis Faktor dengan Program Minitab
Use Minitab's multivariate analysis procedures to analyze your data when you have made multiple measurements on items or subjects. You can choose to:
- Analyze the data covariance structure to understand it or to reduce the data dimension
- Assign observations to groups
- Explore relationships among categorical variables
Because Minitab does not compare tests of significance for multivariate procedures, interpreting the results is somewhat subjective. However, you can make informed conclusions if you are familiar with your data.
Analysis of the data structure
Minitab offers two procedures for analyzing the data covariance structure:
- Principal Components helps you to understand the covariance structure in the original variables and/or to create a smaller number of variables using this structure.
- Factor Analysis, like principal components, summarizes the data covariance structure in a smaller number of dimensions. The emphasis in factor analysis is the identification of underlying "factors" that might explain the dimensions associated with large data variability.

Internal Consistency
- Item Analysis assesses how reliably multiple items in a survey or test measure the same construct.
Grouping observations
Minitab offers three cluster analysis methods and discriminant analysis for grouping observations:
- Cluster Observations groups or clusters observations that are "close" to each other when the groups are initially unknown. This method is a good choice when no outside information about grouping exists. The choice of final grouping is usually made according to what makes sense for your data after viewing clustering statistics.
- Cluster Variables groups or clusters variables that are "close" to each other when the groups are initially unknown. The procedure is similar to clustering of observations. You may want to cluster variables to reduce their number.
- Cluster K-Means, like clustering of observations, groups observations that are "close" to each other. K-means clustering works best when sufficient information is available to make good starting cluster designations.
- Discriminant Analysis classifies observations into two or more groups if you have a sample with known groups. You can use discriminant analysis to investigate how the predictors contribute to the groupings.
Correspondence Analysis
Minitab offers two methods of correspondence analysis to explore the relationships among categorical variables:
- Simple Correspondence Analysis explores relationships in a 2-way classification. You can use this procedure with 3-way and 4-way tables because Minitab can collapse them into 2-way tables. Simple correspondence analysis decomposes a contingency table similar to how principal components analysis decomposes multivariate continuous data. Simple correspondence analysis performs an eigen analysis of data, breaks down variability into underlying dimensions, and associates variability with rows and/or columns.
- Multiple Correspondence Analysis extends simple correspondence analysis to the case of 3 or more categorical variables. Multiple correspondence analysis performs a simple correspondence analysis on an indicator variables matrix in which each column corresponds to a level of a categorical variable. Rather than a 2-way table, the multi-way table is collapsed into 1 dimension.
There are three ways that you might carry out a factor analysis in Minitab. The usual way, described below, is to enter columns containing your measurement variables, but you can also use a matrix as input (See To perform factor analysis with a correlation or covariance matrix) or use stored loadings as input (See To perform factor analysis with stored loadings).
1 Choose Stat > Multivariate > Factor Analysis.
2 In Variables, enter the columns containing the measurement data.
3 If you like, use any dialog box options, then click OK.
You can choose to calculate the factor loadings and coefficients from a stored correlation or covariance matrix rather than the raw data. In this case, the raw data will be ignored. (Please note that this means scores can not be calculated.)
If it makes sense to standardize variables (usual choice when variables are measured by different scales), enter a correlation matrix; if you do not wish to standardize, enter a covariance matrix.
1 Choose Stat > Multivariate > Factor Analysis.
2 Click Options.
3 Under Matrix to Factor, choose Correlation or Covariance.
4 Under Source of Matrix, choose Use matrix and enter the matrix. Click OK.
If you store initial factor loadings from an earlier analysis, you can input these initial loadings to examine the effect of different rotations. You can also use stored loadings to predict factor scores of new data.
1. Cick Options in the Factor Analysis dialog box.
2. Under Loadings for Initial Solution, choose Use loadings. Enter the columns containing the loadings. Click OK.
3. Do one of the following, and then click OK:
- To examine the effect of a different rotation method, choose an option under Type of Rotation. See Rotating the factor loadings for a discussion of the various rotations>Main.
- To predict factor scores with new data, in Variables, enter the columns containing the new data.
You record the following characteristics of 14 census tracts: total population (Pop), median years of schooling (School), total employment (Employ), employment in health services (Health), and median home value (Home) (data from [6], Table 8.2). You would like to investigate what "factors" might explain most of the variability. As the first step in your factor analysis, you use the principal components extraction method and examine an eigenvalues (scree) plot in order to help you to decide upon the number of factors.
1. Open the worksheet EXH_MVAR.MTW.
2. Choose Stat > Multivariate > Factor Analysis.
3. In Variables, enter Pop-Home.
4. Click Graphs and check Scree plot. Click OK in each dialog box.
Session window output
Factor Analysis: Pop, School, Employ, Health, Home
Principal Component Factor Analysis of the Correlation Matrix
Unrotated Factor Loadings and Communalities
Variable Factor1 Factor2 Factor3 Factor4 Factor5 Communality
Pop 0.972 0.149 -0.006 -0.170 0.067 1.000
School 0.545 0.715 0.415 0.140 -0.001 1.000
Employ 0.989 0.005 -0.089 -0.083 -0.085 1.000
Health 0.847 -0.352 -0.344 0.200 0.022 1.000
Home -0.303 0.797 -0.523 -0.005 -0.002 1.000
Variance 3.0289 1.2911 0.5725 0.0954 0.0121 5.0000
% Var 0.606 0.258 0.114 0.019 0.002 1.000

Factor Score Coefficients
Variable Factor1 Factor2 Factor3 Factor4 Factor5
Pop 0.321 0.116 -0.011 -1.782 5.511
School 0.180 0.553 0.726 1.466 -0.060
Employ 0.327 0.004 -0.155 -0.868 -6.988
Health 0.280 -0.272 -0.601 2.098 1.829
Home -0.100 0.617 -0.914 -0.049 -0.129


Interpreting the results
Five factors describe these data perfectly, but the goal is to reduce the number of factors needed to explain the variability in the data. Examine the Session window results line of % Var or the eigenvalues plot. The proportion of variability explained by the last two factors is minimal (0.019 and 0.002, respectively) and they can be eliminated as being important. The first two factors together represent 86% of the variability while three factors explain 98% of the variability. The question is whether to use two or three factors. The next step might be to perform separate factor analyses with two and three factors and examine the communalities to see how individual variables are represented. If there were one or more variables not well represented by the more parsimonious two factor model, you might select a model with three or more factors.
Two factors were chosen as the number to represent the census tract data of the Example of Factor Analysis Using Principal Components. You perform a maximum likelihood extraction and varimax rotation to interpret the factors.
1. Open the worksheet EXH_MVAR.MTW.
2. Choose Stat > Multivariate > Factor Analysis.
3. In Variables, enter Pop-Home.
4. In Number of factors to extract, enter 2.
5. Under Method of Extraction, choose Maximum likelihood.
6. Under Type of Rotation, choose Varimax.
7. Click Graphs and check Loading plot for first 2 factors.
8. Click Results and check Sort loadings. Click OK in each dialog box.
Session window output
Factor Analysis: Pop, School, Employ, Health, Home
Maximum Likelihood Factor Analysis of the Correlation Matrix
* NOTE * Heywood case
Unrotated Factor Loadings and Communalities
Variable Factor1 Factor2 Communality
Pop 0.971 0.160 0.968
School 0.494 0.833 0.938
Employ 1.000 0.000 1.000
Health 0.848 -0.395 0.875
Home -0.249 0.375 0.202
Variance 2.9678 1.0159 3.9837
% Var 0.594 0.203 0.797
Rotated Factor Loadings and Communalities
Varimax Rotation
Variable Factor1 Factor2 Communality
Pop 0.718 0.673 0.968
School -0.052 0.967 0.938
Employ 0.831 0.556 1.000
Health 0.924 0.143 0.875
Home -0.415 0.173 0.202
Variance 2.2354 1.7483 3.9837
% Var 0.447 0.350 0.797
Sorted Rotated Factor Loadings and Communalities
Variable Factor1 Factor2 Communality
Health 0.924 0.143 0.875
Employ 0.831 0.556 1.000
Pop 0.718 0.673 0.968
Home -0.415 0.173 0.202
School -0.052 0.967 0.938
Variance 2.2354 1.7483 3.9837
% Var 0.447 0.350 0.797

Factor Score Coefficients
Variable Factor1 Factor2
Pop -0.165 0.246
School -0.528 0.789
Employ 1.150 0.080
Health 0.116 -0.173
Home -0.018 0.027

Interpreting the results
The results indicates that this is a Heywood case . There are three tables of loadings and communalities: unrotated, rotated, and sorted and rotated. The unrotated factors explain 79.7% of the data variability (see last line under Communality) and the communality values indicate that all variables but Home are well represented by these two factors (communalities are 0.202 for Home, 0.875-1.0 for other variables). The percent of total variability represented by the factors does not change with rotation, but after rotating, these factors are more evenly balanced in the percent of variability that they represent, being 44.7% and 35.0%, respectfully.
Sorting is done by the maximum absolute loading for any factor. Variables that have their highest absolute loading on factor 1 are printed first, in sorted order. Variables with their highest absolute loadings on factor 2 are printed next, in sorted order, and so on. Factor 1 has large positive loadings on Health (0.924), Employ (0.831), and Pop (0.718), and a -0.415 loading on Home while the loading on School is small. Factor 2 has a large positive loading on School of 0.967 and loadings of 0.556 and 0.673, respectively, on Employ and Pop, and small loadings on Health and Home.
You can view the rotated loadings graphically in the loadings plot. What stands out for factor 1 are the high loadings on the variables Pop, Employ, and Health and the negative loading on Home. School has a high positive loading for factor 2 and somewhat lower values for Pop and Employ.
Let's give a possible interpretation to the factors. The first factor positively loads on population size and on two variables, Employ and Health, that generally increase with population size. It negatively loads on home value, but this may be largely influenced by one point. We might consider factor 1 to be a "health care - population size" factor. The second factor might be considered to be a "education - population size" factor. Both Health and School are correlated with Pop and Employ, but not much with each other.
In addition, Minitab displays a table of factor score coefficients. These show you how the factors are calculated. Minitab calculates factor scores by multiplying factor score coefficients and your data after they have been centered by subtracting means.
You might repeat this factor analysis with three factors to see if it makes more sense for your data.
You can have three types of input data:
ü Columns of raw data
ü A matrix of correlations or covariances
ü Columns containing factor loadings
The typical case is to use raw data. Set up your worksheet so that a row contains measurements on a single item or subject. You must have two or more numeric columns, with each column representing a different measurement (response). Minitab automatically omits rows with missing data from the analysis.
Usually the factor analysis procedure calculates the correlation or covariance matrix from which the loadings are calculated. However, you can enter a matrix as input data. You can also enter both raw data and a matrix of correlations or covariances. If you do, Minitab uses the matrix to calculate the loadings. Minitab then uses these loadings and the raw data to calculate storage values and generate graphs. See To perform factor analysis with a correlation or covariance matrix.
If you store initial factor loadings, you can later input these initial loadings to examine the effect of different rotations. You can also use stored loadings to predict factor scores of new data. See To perform factor analysis with stored loadings.

Jumat, 12 Juni 2009

MEMASUKI PASAR MELALUI STRATEGI PRODUK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai suatu ilmu, pemasaran pernah dianggap sebagai ranah telaah yang kurang bergengsi. Disiplin ini sarat dengan seni dan intuisi. Lebih menekankan relevansi dibandingkan elegansi. Berbeda dari ilmu ekonomi yang memiliki kemampuan prediktif tinggi, pemasaran sering berkutat menjelaskan fenomena ex-post (setelah terjadi). Ketika ilmu lain sibuk membangun hipotesis melalui daur metodologi deduksi-induksi, pemasaran terkena demam jargonisasi dan intelektualisasi.
Pandangan atau lebih tepat tuduhan di atas kurang tepat bila kita tempatkan dalam perspektif evolusi pemasaran sebagai ilmu. Bahkan, belakangan ilmu ini menjadi inspirator utama dalam berbagai penelitian yang terkait dengan kewirausahaan strategis (strategic entrepreneurship), dinamika persaingan (competitive dynamics) dan daya hidup korporasi (corporate longevity and sustainability).
Pada mulanya pemasaran diartikan sebagai ”business activities that direct the flow of goods and services from producers to consumers”. Definisi yang dicetuskan tahun 1935 ini dinilai terlalu membatasi, karena memberi kesan kegiatan pemasaran bergerak satu arah, dari produsen ke konsumen, sehingga cenderung disamakan dengan kegiatan distribusi. Selain itu, obyek pemasaran tidak hanya terbatas pada barang dan jasa saja, tetapi lebih luas lagi, mencakup pemasaran orang, ide, tempat, informasi, pengalaman, dan lain-lain.
Kotler dan Levy (1969) menyarankan konsep pemasaran diperluas agar relevan juga untuk organisasi nirlaba. Pada saat bersamaan, tuntutan untuk memasukkan dimensi sosial dan kemasyarakatan dalam definisi pemasaran juga menguat, sehingga Kotler dan Zaltman (1971) memperkenalkan konsep social marketing.
Pada 1985 American Marketing Association (AMA) membuat definisi baru tentang pemasaran, yaitu sebagai ”process of planning and executing the conception, pricing, promotion, and distribution of ideas, goods, and services to create exchanges that satisfy individual and organizational objectives”. Definisi ini memberi tekanan pada arti penting pertukaran, cakupan produk lebih luas dan tujuan organisasional. Pada masa ini pula, mantra 4P (Product, Price, Promotion, Place) yang pertama kali diperkenalkan McCarthy (1957) semakin diterima secara luas.
Setelah bertahan cukup lama, pada 2004 AMA kembali membuat pemaknaan baru terhadap pemasaran sebagai ”an organizational function and a set of processes for creating, communicating and delivering value to customers and for managing customer relationship in ways that benefit the organization and its stakeholders.”
Unit analisis pemasaran lebih tajam dari sekadar pertukaran, karena dalam definisi ini terdapat tekanan pada proses, nilai, hubungan dan pemangku kepentingan. Pada periode bersamaan, penelitian pemasaran juga berhasil membakukan sejumlah perampatan yang mendapat dukungan empirik luas (law-like generalization).
Temuan tentang peran menentukan kualitas produk dan pangsa pasar relative terhadap kemampulabaan unit bisnis, sebagaimana dirangkum dalam studi PIMS (Profit Impact of Market Strategy), mendekatkan kajian strategi pemasaran dengan arus utama penelitian bisnis. Sumbangan Kohli dan Jaworski (1990) serta Slater dan Narver (1994) yang memberi isi terhadap konsep orientasi pasar (market orientation), semakin memberi arti penting pada peran informasi, daya tanggap dan koordinasi lintas bagian dalam organisasi.
Tekanan pemaknaan pemasaran sebagai ”a set of processes” mendekatkan pemasaran dengan unit analisis pendekatan sumber daya (resource-based approach) yang menekankan arti penting kapabilitas dan kompetensi. Dari sini terjadi sintesis antara pendekatan pemasaran, yang cenderung bersifat “outside-in”. (berangkat dari faktor eksternal atau karakteristik pasar) dengan pendekatan lain yang bersifat “inside-out” (berangkat dari faktor internal atau sumber daya organisasi).
Perhatian pada ”creating, communicating and delivering value” menegaskan arti penting penjabaran rumus nilai sebagai “total get divided by total give” atau rasio antara manfaat dan harga yang dibayar untuk mendapatkannya. Di sini, peran merk (brand), layanan tanpa kondisi (unconditional service), komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication), dan konsep-konsep lain sejenis, menjadi lebih menonjol.
Dimensi “managing customer relationship” sesungguhnya mencerminkan pergeseran tekanan unit analisis pemasaran dari transaksi ke relasi. Dalam ilmu pemasaran, Pendekatan Interaksi (Interaction Approach) sejak dini telah dikembangkan di negara-negara Skandinavia. Itu sebabnya aliran ini disebut sebagai Nordic School. Praktik-praktik pemasaran relasional antara lain terlihat pada maraknya call centers, loyalty programs, customer services, dan account-officers.
Upaya untuk membangun teori pemasaran yang komprehensif dilakukan oleh sejumlah pakar, antara lain Shelby Hunt dan Robert Morgan (1996), Peter Doyle(2000), Philip Kotler, Dipak Jain dan Suvit Maisincee (2002) serta Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, Hooi Den Huan dan Sandra Liu (2007). Hunt dan Morgan menamakan teorinya sebagai Resource-Advantage Theory (R-A Theory) yang menggambarkan dinamika terus-menerus dari organisasi bisnis untuk memperoleh keunggulan komparatif di pasar sumber daya dan keunggulan kompetitif di pasar produk jadi.
Doyle memperkenalkan konsep Value-based Marketing yang mengawinkan kepentingan pelanggan (pemasaran) dan pemegang saham (keuangan). Kotler, Jain dan Maisincee membangun konsep Holistic Marketing yang bertumpu pada tiga kekuatan, yaitu penciptaan nilai bagi konsumen, kompetensi inti, dan penguatan jaringan. Selanjutnya, Kotler, Kartajaya, Hooi dan Liu memopulerkan kerangka yang dinamakan Sustainable Marketing Enterprise (SME), yang memasukkan keterkaitan antarkonsep yang kompleks dalam pemasaran dan menggeser pemasaran dari pendekatan fungsi ke pendekatan bisnis yang menyeluruh (total strategic business approach).
Teori pemasaran tak bisa lepas dari teori dasar tentang persaingan. Bagaimana pemasaran memasukkan rangkaian aksi-reaksi antarpemain yang memperebutkan keunggulan (differential advantage)? Kechen, Snow dan Hoover (2004) mengaitkan strategi pemasaran dengan dinamika persaingan, dan membahas bidang penelitian yang menarik di masa depan, seperti multi-point competition (persaingan antarpemain dalam berbagai jenis produk dan pasar), co-opetition (persaingan dan kerja sama yang terjadi bersamaan antarpemain), first-mover advantages (keunggulan dan kerugian pemain pertama yang masuk pasar), dan regional cluster (persaingan antar ekologi industrial).
Perubahan lingkungan eksternal organisasi yang terjadi akibat perubahan teknologi, regulasi, tekanan globalisasi dan dinamika pasar, yang pada gilirannya menuntut perubahan lingkungan internal organisasi, akan mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam pemasaran. Benar, dalam praktik pemasaran, faktor-faktor intuisi, insting dan seni memainkan peran penting, tetapi perkembangan ilmu juga membutuhkan energi imajinasi. Abraham Kaplan (1964) pernah menulis, ”Tolerance of ambiguity is as important for creativity in science as it is anywhere else.”





BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Product
Menurut Philip Kotler seperti yang dikutip oleh Kasmir (2004, 136) mendefenisikan produk sebagai berikut: “Sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian untuk dibeli, untuk digunakan atau dikonsumsi yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan”.
Product adalah barang atau jasa yang dijual kepada commercial consumer atau end consumer. Product sendiri dapat dibagi ke dalam 3 level yaitu sebagaimana yang terlihat pada gambar.
a) Level 1 adalah Core Product atau manfaat yang diperoleh.
b) Level 2 adalah Actual Product, yaitu tangible product yang benar dapat dirasakan. Faktor yang perlu diperhatikan terkait dengan actual product adalah masalah quality, colour, design/style, branding, kualitas.
c) Level 3 adalah Augmented Product, yaitu non-physical yang melengkapi/ menyertai product tersebut, seperti : customer care, masalah financing (leasing), installation, after sales services, delivery product, dan warrant.
Jadi semakin produk tersebut mempunyai kelebihan dibandingkan dengan product lain apalagi sampai pada level 3 dibandingkan brand lain maka produk itu unggul mutlak, maka makin tinggilah produk tersebut dimata customer. Sehingga produk tersebut secara value lebih tinggi dibandingkan dengan produk lainnya.
Produk barang yang dijual perusahaan berbeda dari produk jasa karena di situ juga mencakup pengalihan hak milik produk barang tangible. Bahkan, komponen intangible memiliki peran yang begitu penting dalam menentukan kepuasan pelanggan sekaligus mempertahankan agar pelanggan tetap puas. Untuk menggarisbawahi hal ini, kita akan mengacu pada tawaran pasar perusahaan sebagai jasa mereka dan menunjukkan bahwa jasa-jasa ini bisa dipecah menjadi empat komponen utama: produk fisik, produk jasa, lingkungan jasa dan delivery jasa. Keseluruhannya mesti dipadukan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Produk fisik adalah semua produk yang bisa disentuh dan dialihkan kepemilikannya pada pelanggan. Produk tersebut bersifat tangible dan ada wujudnya. Misalnya saja, rumah, mobil, komputer, buku, sampho dan sabun hotel, serta makanan. Dan sebagaimana tawaran produk jasa lain, desain produk mesti diorientasikan pada pelanggan. Ada metode yang dirancang bagus untuk memastikan bahwa desain produk cocok dengan kebutuhan pelanggan, sebut saja Quality Function Deployment-QFD, atau lebih populernya, House of Quality. Prosedur ini dikembangkan di Jepang pada tahun 1970-an sebagai sarana guna membantu para pemasar dan perancang teknis untuk saling berkomunikasi dan bekerja-sama mencapai tujuan yaitu: memuaskan kebutuhan pelanggan. Dengan mengaitkan fitur desain teknis dengan spesifikasi kebutuhan pelanggan, QFD memastikan bahwa pengembangan produk menggenjot nilai produk bagi pelanggan. Di saat yang sama, hal tersebut membantu perusahaan untuk menghindari pembengkakan biaya pengembangan produk yang dirancang lebih baik tetapi kurang memuaskan kebutuhan pelanggan. Menguras waktu dan tenaga dalam desain yang sia-sia disebut sebagai over engineering, dan hal ini banyak terjadi di perusahaan berbasis teknologi.
Produk jasa adalah kinerja inti yang dibeli oleh pelanggan, aliran kejadian yang dirancang untuk melahirkan hasil yang diinginkan. Hal ini mengacu pada pengalaman, terlepas dari transfer produk fisik dan biasanya mencakup interaksi dengan personel perusahaan. Misalnya di sejumlah showroom mobil, pelanggan dipersilahkan melihat-lihat mobil tanpa diganggu oleh wiraniaga. Hanya saat pembeli ingin berbicara dengan seseorang, maka wiraniaga akan menghampirinya. Untuk meredam kecemasan, harga sesungguhnya yang dipotong, dipasang di kaca mobil, sehingga pelanggan tidak perlu khawatir untuk menegosiasikan harganya, seperti yang biasa terjadi di dealer lain. Mobil dijamin mendapat layanan garansi dan pegawai dealer dilatih serta memiliki wewenang membuat pengecualian kalau-kalau diperlukan untuk memastikan kepuasan pelanggan dalam rangka memberi solusi atas masalah mereka.
Seluruh aspek interaksi perusahaan dengan pelanggan perlu dirancang secara cermat karena kesemua itu akan turut menentukan corak pengalaman jasa sebagaimana dialami pelanggan. Lingkungan jasa yang melatarbelakangi delivery jasa terkadang disebut sebagai “servicescape.” Bila kita menonton film, misalnya, akan lebih menyenangkan apabila gedungnya bersih, kursinya nyaman dan punya area yang luas dan terang. Meski pelanggan tidak akan membawa pulang fasilitas tersebut, namun dampak yang ditimbulkannya ketika pelanggan ‘menikmati’ jasa tidak bisa diabaikan.
Jasa juga mengisyaratkan pada publik positioning dan segmen pasar mana yang dibidik perusahaan. Misalnya restoran yang berlokasi dekat kampus mengisyaratkan bahwa restoran itu adalah restoran yang diperuntukkan bagi mahasiswa dengan ciri khas pajangan-pajangan memorabilia dan foto aktivitas para mahasiswa di dinding. Dealer mobil mungkin juga akan memanfaatkan lingkungan jasa untuk menegaskan positioning-nya pada segmen atas dengan cara mendekor lingkungan showroom: serta ruangan yang mewah dan nyaman, ruang pamer lapang yang dilengkapi berbagai penanda serta simbol yang mengisyaratkan eksklusifitas.
Ambient condition juga mencakup hal-hal seperti pencahayaan dan latar belakang musik. Lingkungan yang cocok untuk bisnis tertentu mungkin kurang pas untuk bisnis yang lain, tergantung market positioning. Misalnya cahaya terang lebih sesuai bagi restoran fast food, tapi tidak begitu cocok untuk restoran mahal yang romantis. Ruang yang luas juga bisa mempengaruhi kepuasan pelanggan. Misalnya Disney World menemukan bahwa antrian akan terkesan lebih pendek jika antriannya dibuat berputar-putar dan selama mengantre mereka tetap dihibur dengan berbagai pertunjukan. Penanda dan simbol juga berperan penting.
Delivery jasa menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi saat pelanggan membeli jasa. Katakanlah perancang produk jasa telah mendefinisikan bagaimana layanan mesti dilakukan dalam teori, namun delivery jasa adalah bagaimana penghantaran jasa terjadi dalam praktik nyata. Sebuah pepatah mengatakan, “Rencanakan kerjamu, kerjakan rencanamu.” Produk jasa adalah hasil dari “Rencanakan kerjamu,” sementara delivery jasa adalah hasil dari “Kerjakan rencanamu.” Contoh dari desain jasa adalah, dalam waktu sepuluh detik pengunjung restoran fast food sudah harus disapa dengan ramah, tetapi pada saatnya delivery jasa mungkin terganggu karena petugas counter sedang bercanda sendiri di belakang selama 5 menit. Apa yang sudah dirancang tidaklah selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan.

2.1.1. Strategi Produk
Strategi produk desain untuk mempengaruhi konsumen baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, strategi produk didesain untuk mempengaruhi konsumen agar mau mencoba produk dan untuk jangka panjang, strategi produk didesain untuk mengembangkan loyalitas merek dan mendapatkan pangsa pasar yang besar. J. Paul (1999: 170) seperti yang dikutip oleh Susilowati (2002, 23 ) mengemukakan bahwa untuk mempengaruhi keberhasilan suatu produk ada 7 karakteristik yang perlu diperhatikan, yaitu:
a) Kompatibilitas (compatability), yaitu seberapa dekat produk ini cocok atau dekat dengan afeksi, kognisi dan perilaku konsumen saat itu.
b) Kemampuan untuk uji coba (triability), yaitu dapatkah konsumen mencoba produk dalam kondisi yang terbatas dan dengan resiko yang sekecil-kecilnya.
c) Kemampuan untuk diteliti (observability), yaitu sejauh mana produk atau dampak yang dihasilkan oleh produk terebut dapat dirasakan oleh konsumen lain.
d) Kecepatan (speed), yaitu seberapa cepat konsumen dapat merasakan manfaat produk. Semakin cepat produk tersebut memberikan manfaat kemungkinan dicoba oleh konsumen akan semakin tinggi.
e) Kesederhanaan (simplicity), yaitu sejauh mana suatu produk dengan mudah dimengerti dan digunakan oleh konsumen.
f) Manfaat relative (relative advantage), yaitu sejauh mana suatu produk memilki keunggulan bersaing dengan produk lain yang sama kelasnya.
g) Simbolisme produk (product symbolism), yaitu apa makna produk tersebut bagi konsumen.
Berdasarkan karakteristik terebut diatas terlihat bahwa dalam memilih suatu produk konsumen/nasabah sangat menekankan pada segi kemudahan dan manfaat dari produk tersebut serta memiliki kelebihan dari produk pesaing.



2.1.2. Mengembangkan Strategi Produk
Strategi produk menggambarkan tindakan yang digunakan oleh komponen produk dari bauran pemasaran untuk mencapai tujuan sebuah perusahaan. Sebuah item produk adalah sebutan pemsaran yang paling rendah atau dasar dalam bauran produk ini adalah item tersendiri seperti, sebuah merek sabun batangan. Sebuah lini produk adalah sejumlah item produk tersendiri yang terkait. Hubungan ini biasanya ditetapkan secara umum. Dua merek sabun batangan adalah dua item produk dalam lini produk.
Bauran produk adalah kumpulan dari lini produk dalam kekuasaan dan kepemilikan perusahaan. Konsistensi bauran produk menunjukan pada kedekatan atau kemiripan lini produk, semkain dalam konsistensi yang dimilikinya. Semakin banyak lini produk dalam sebuah bauran produk, lebih besar dan lebih luas bauran produk tersebut.
a. Daur Hidup Produk
Daur hidup produk meringas perjalanan produk pada tingkat perkenalan,
pertumbuhan, kedewasaaan, penurunan. Konsep daur hidup produk mempunyai dua alasan yaitu, berfungsi sebagai peringatan bahwa kebijakan promosi, penetapan harga, dan distribusi seharusnya disesuaikan semuanya mencerminkan posisi produk pada kurva tersebut. Kedua, konsep itu menekankan pentingnya peremajaan lini produk sewaktu – waktu jika memungkinkan atau mengganti dengan penawaran yang lebih menjanjikan.
b. Pilihan Strategi Produk
Kegagalan untuk memahami dengan jelas pilihan strategi produk akan menimbulkan ketidakefektifan dan konflik dalam usaha pemasarannya. Alternatif strategi ini produk utama sari sebuah bisnis berskala kecil dapat dipadatkan menjadi enam kategori, berdasarkan pada lingkup penawaran produk perusahaan dan jumlah pasar yang dituju, yaitu :
- Produk tunggal/pasar tunggal
- Produk tunggal/pasar ganda
- Produk yang dimodifikasi/pasar tunggal
- Produk yang dimodifikasi/pasar ganda
- Produk ganda/pasar tunggal
- Produk ganda/pasar ganda.

2.1.3. Membangun Penawaran Produk Secara Total
Sebuah tanggung jawab pemasaran yang utama adalah mentransformasikan sebuah produk utama menjadi penawaran produk secara total. Penawaran produk secara total harus lebih dari pada bahan mentah, menguraikan komponen –komponen penawaran produk secara total sebuah perusahaan.
a. Pemberi Merek
Merek aadalah sarana untuk mengenali produk secara verbal dan atau simbolis. Sebuah elemen penting dalam penawaran produk secara total
adalah sebuah merek. Pada umumnya lima aturan diterapkan dalam pembelian sebuah produk :
ü Memilih sebuah nama yang mudah diucapkan dan mudah diingat.
ü Memilih sebuah nama yang deskriptif
ü Menggunakan nama yang dapat memiliki proteksi hokum
ü Memilih sebuah nama dengan kemungkinan promosi
ü Memilih sebuah nama yang dapat digunakan pada beberapa lini produk dari lingkup yang serupa.
Merek dagang atau merek jasa adalah istilah hukum yang mengindikasikan hak ekslusif untuk menggunakan sebuah merek.
b. Pengemasan
Pengemasan atau pengepakan merupakan bagian penting dari penawaran produk secara total. Pengemasan yang inovatif sering kali merupakan factor yang menemukan bagi para konsumen, sebaliknya jika sebuah produk sangat mirip dengan produk pesaingnya, kemasan mungkin menciptakan kesan yang membedakan yang dapat meningkatkan penjualan.

c. Pemberian Label
Bagian lain dari produk secara total adalah labelnya. Pemberian label memberikan beberapa tujuan penting bagi para pengusaha yang mengunakan banyak label. Salah satu tujuannnya adalah untuk menunjukkan merek, terutama ketika pemberian merek produk utama tidak akan diperlukan. Jaminan penting bagi produk yang inovatif, relative mahal, jarang dibeli, relative sulit untuk diperbaiki dan diposisikan sebagai barang yang berkualitas tinggi. Sebuah bisnis akan mempertimbangkan factor-faktor berikut dalam membuat peringkat kebaikan. Kebijakan jaminan yang diusulkan : biaya, kemampuan pelayanan, praktek kompetitif, persepsi konsumen, implikasi hukum.

2.1.4. Strategi Produk dalam lingkungan Hukum
Dalam hal ini perhatian pada kesetiaan konsumen, perilaku konsumen, strategi produk dan teknik management produk dengan sasaran utama pembangunan penawaran produk secara total. Keputusan-keputusan mengenai faktor ini selalu dibuat alam garis pedoan dan ketidakluwesan lingkungan hukum pasar.
a. Perlindungan konsumen
Peraturan pada subjek tertentu seperti pemberian label dan kemasan produk memiliki implikasi penting bagi strategi produk.
ü Pemberian Label. Nutrition Labeling and Education Act di tahun 1990 memasyarakatkan bahwa tipa produk makanan yang terlindung oleh hukum memiliki label nutrisi yang standart, daftar jumlah kalori, lemak garam dan bahan gizi. Hukum juga menunjukkan ketepatan klaim periklanan seperti ‘’ rendah garam’’ dan ‘’ serat pencegah kanker” . Beberapa ahli memperkirakan cost memberian label ribuan label tiap produk.
ü Keamanan Produk. Untuk melindungi produk cedera dari resiko yang tidak masuk akal, pemerintah federal membuat Consumer Product Safety pada tahun 1972. Tindakan ini menciptakan Consumer Product Safety Commission untuk melarang barang – barang yang sangat berbahaya.

b. Perlindungan Aktiva Intangible.
Empat sarana utama perusahaan yang dapat digunakan untuk melindungi
Intangible-nya yaitu merek dagang, hak paten, hak cipta, dan seragam dagang.
ü Perlindungan Merek Dagang. Melindungi sebuah merek dagang penting bagi pengusaha atau pedagang. Dalam berbagai kasus, sebuah warna atau bau dapat menjadi bagian dari merek dagang. Pengusaha – pengusaha kecil, khususnya sering diperlukan untuk menggambarkan sebuah merek dagang pengenal dalam periklanan. Sejak nama yang menunjukkan pada produk sering disebut merek dagang nama – nama yang mungkin digunakan harus diteliti secara seksama harus memastikan bahwa nama- nama tersebut belum digunakan. Karena begitu rumitnya pekerjaan ini, banyak wirausaha mwminta saran para pengacara yang berpengalaman dalam pendaftaran merek dagang. Hukum adat adat/kasus mengakui sebuah hak property dalam kepemimpinan merek dagang. Bagaimanapun, menggantungkan kepercayaan pada hak yang berdasarkan pada hukum adat/kasus tidaklah selalu mencukupi. Sebuah bisnis berskala kecil harus menggunakan sebuah merek dagang yang tepat dengan tujuan untuk melindungi bisnis itu sendiri. Atura pertama adalah untuk melakukan tiap usaha untuk melihat bahwa nama merek tersebut tidak dengan sembrono digunakan sebagai pengganti istilah yang umum. Aturan kedua adalah untuk memberitahukan pada publik bahwa merek dagang tersebut sebuah symbol Tm, jika merek dagang telah terdaftar symbol ® atau dengan frace ‘’ Registered in the U.S. Patent and Trademark Office” harus digunakan.
ü Perlindungan Hak Paten. Sebuah hak paten adalah hak ekslusif dari seorang penemu yang telah tercatat untuk dibuat, digunakan atau dijual sebagai sebuah penemuan. Dua jenis utama hak paten adalah hak paten rancangan dan hak paten kegunaan. Sebuah hak paten kegunaan meliputi sebuah proses baru atau perlindungan bagi fungsi sebuah produk. Hak paten rancangan meliputi penampilan produk dan semua bagian yang tidak terpisahkan dari produk. Hak paten kegunaan diberikan selama periode 20 tahun dan hak paten rancangan diberikan selama 14 tahun.
- Hak Cipta. Sebuah cipta adalah sebuah resmi eksekutif dari pencipta (pengarang, komposer, perancang atau seniman) untuk menghasilkan, menerbitkan, menyelenggarakan, memamerkan atau menjual hasil karyanya yaitu produk dari kepandaian dan keahian orang tersebut. Hasil karya yang diciptakan pada atau setelah 1 Januari 1978 menerima perlindungan – perlindungan hak cipta selama umur pencipta ditambahkan 50 tahun. Sebuah hasil pekerjaan yang disewakan dilindungi selama 100 tahun sejak diciptakan atau 75 tahun setelah diterbitkan yang lebih singkat. Bagaimanapun tiap hasil karya yang didistribusikan pada publik harus mendapakan sebuah pemberitahuan hak cipta. Pemberitahuan ini terdiri dari tiga elemen yaitu : symbol, tahun hasil karya tersebut dan nama pemilik hak cipta. Hukum menentukan bahwa hasil karya yang memiliki hak cipta tida dapat ditiru oleh orang atau sekelompok orang lain tanpa otorisasi. Bahkan memfotokopi atau menyalin hasil karya seperti itu dilarang, meskipun seorang mungkin menyalin materi dalam jumlah yang terbatas.
- Seragam Kerja. Sebuah bisnis berskala kecil juga memiliki aktiva berharga yang bersifat intangible yang disebut seragam kerja. Seragam kerja menggambarkan elemen – elemen dari image pelaksana perusahaan yang tersendiri yang secara khusus tidak dilindungi dalam sebuah merek dagang, hak paten atau hak cipta. Seragam kerja adalah penampilan yang diciptakan oleh perusahaan untuk mengadakan keuntungan perusahaan. Salah atau pengadilan telah menetapkan bahwa seragam kerja sebagai image total dari sebuah produk, termasuk cirri – cirri, seperti ukuran, bentuk, warna, kombinasi warna, tekstur, tulisan tangan, atau bahkan teknik penjualan tertentu. Meskipun sekarang ini tidak terdapat undang – undang mengenai seragam kerja, pengadilan – pengadilan mulai mengakui nilai dari aktiva ini.

2.1.5. Pengembangan, pengujian, dan peluncuran produk dan jasa baru
Setelah perusahaan mensegmentasi pasar, memilih kelompok pasar sasarannya dan menentukan posisi pasar yang diinginkannya, perusahaan tersebut siap mengembangkan dan meluncurkan produk yang layak dan diharapkan berhasil di pasar. Manajemen pemasaran memainkan peranan kunci dalam proses ini. Daripada menugaskan Departemen R&D untuk mengembangkan produk baru, departemen pemasaran berpartisipasi aktif dengan departemen-departemen lainnya pada setiap tahapan dalam proses pengembangan produk.
Setiap perusahaan harus melakukan pengembangan produk baru. Penggantian produk harus ditemukan untuk memelihara dan membangun penjualan masa depan. Lagi pula pelanggan menginginkan produk baru, dan pesaing-pesaing akan melakukan yang terbaik untuk memasok mereka.
Perusahan dapat menambah produk baru melalui akuisisi atau pengembangan produk baru. Jalur akuisisi dapat dilakukan dalam tiga bentuk. Perusahaan dapat membeli perusahaan lain. Telah terjadi gelombang akuisisi perusahaan pada tahun-tahun terakhir yang bertujuan mengambil produk baru: Sony membeli Columbia Picture ; Philips Moris mengambil alih General Food dan Kraft; General Elekctrik membeli RCA, Matsusita membeli MCA. Perusahaan ini dapat mengambil paten-paten terpilih dari perusahaan lain.
Perusahaan juga dapat membeli lisensi atau waralaba dari perusahaan lain. Jalur pengembangan produk baru dapat dalam dua bentuk. Perusahaan dapat mengembangkan produk baru dilaboratoriumnya. Perusahaan juga dapat mengontrak peneliti independen atau perusahaan pengembangan produk baru, untuk mengembangkan produk tertentu bagi perusahaan.
Banyak perusahaan terus tumbuh melalui akuisisi dan pengembangan produk baru. Manajemen mereka merasa bahwa peluang terbaik mungkin terletak pada akuisisi pada suatu waktu tertentu, dan melakukan pengembangan produk pada kesempatan lain, yang mereka ingin menjadi bertambah ahli dalam keduanya. Dalam pembahasan ini yang dimaksud produk baru meliputi, produk asli, produk yang dikembangkan, produk yang dimodifikasi dan merek baru yang perusahaan mengembangkannya melalui upaya-upaya penelitian dan pengembangannya.
Booz, Allen & Hamilton menentukan enam katagori produk baru dalam hal kebaruannya bagi perusahaan dan pasarnya, enam katagori tersebut adalah :
1. Produk yang baru bagi dunia, produk baru yang menciptakan pasar baru
2. Lini produk baru, produk baru yang mengizinkan perusahaan memasuki pasar yang sudah
ada untuk pertama kalinya.
3. Tambahan pada lini produk yang ada; Produk baru yang memberikan tambahan lini
produk yang telah ada di perusahaan (ukuran , kemasan, rasa dan sebagainya.)
4. Pengembangan pada perbaikan produk yang ada, Produk yang menyediakan kinerja yang
diperbaiki atau nilai persepsi yang lebih besar dan menggantikan produk yang sudah ada.
5. Penetapan kembali posisi: Produk yang sudah ada ditujukan untuk pasar baru atau
segmen pasar baru.
6. Pengurangan biaya ; Produk baru yang menyediakan kinerja serupa pada harga yang lebih
murah.
Perusahaan biasanya terus berusaha menggabungkan produk-produk baru tersebut. Satu penemuan penting, bahwa hanya 10% dari semua produk baru yang benar-benar inovatif dan baru bagi dunia.Produk-produk ini melibatkan biaya dan risiko paling besar karena produk-produk ini adalah baru bagi perusahaan maupun pangsa . Kebanyakan kegiatan produk baru perusahaan dilakukan untuk memperbaiki produk yang sudah ada dari pada menciptakan produk baru. Di Sony , lebih dari 80% dari kegiatan produk barunya dicurahkan untuk mengembangkan dan mengubah produk produk Sony yang ada.

a. Dilema Pengembangan Produk Baru
Dengan adanya tingkat persaingan yang ketat di sebagian besar pasar sekarangini, perusahaan-perusahaan yang gagal mengembangkan produk barunya menghadapakan dirinya pada risiko yang besar. Produk-produk mereka mudah terkena perubahan kebutuhan dan selera pelanggan, teknologi baru, daur hidup yang pendek, dan persaingan domestic dan luar negeri yang meningkat.
Pada saat yang bersamaan, pengembangan produk baru juga beresiko. Texas Instruments menderita kerugian sebesar US 350 Juta sebelum mundur dari bisnis computer, RCA rugi US 575 Juta pada pemutar piringan video, DuPond mengalami kerugian kira-kira US 100 Juta pada kulit sintetis yang disebut Corfam, dan perusahaan penerbangan Concorde tidak dapat mengembalikan investasinya.
Mengapa produk baru mengalami kegagalan? Ada beberapa factor menyebabkannya. Eksekutif tingkat tinggi mungkin memaksakan ide yang disukainya walaupun mendapatkan informasi negative dari penelitian pasar, Barangkalai idenya bagus tapi terlampau tinggi dalam memperkirakan ukuran pasarnya, mungkin juga produk sesungguhnya mempunyai rancangan yang jelek. Dapat juga produk tersebut diposisikan dengan keliru di pasar, tidak diiklankan secara efektif, atau dijual dengan harga yang terlalu mahal. Seringkali biaya-biaya pengembangan produk baru lebih tinggi dari yang direncanakan , atau para pesaing menyerang balik dengan lebih keras dari yang diharapkan.
Ada beberapa factor yang menghambat pengembangan produk baru yang berhasil :
1. Kurangnya ide produk baru yang penting dalam bidang-bidang tertentu. Hanya ada sedikit cara yang dapat meningkatkan produk-produk seperti baja, sabun cuci, dan sebagainya.
2. Pasar yang terbagi bagi. Persaingan yang tajam mengakibatkan terjaninya pembagian pasar. Perusahaan harus mengarahkan produk barunya pada segmen pasar yang lebih kecil, dan itu berarti penjualan dan laba yang lebih rendah untuk tiap produknya.
3. Kendala social dan Pemerintahan. Produk baru harus memuaskan masyarakan seperti keselamatan konsumen dan keseimbangan lingkungan. Peraturan pemerintah telah memperlambat inovasi dalam industry obat, dan telah memperumit desain produk dan keputusan periklanan dalam industry-industri peralatan, kimia, mobil dan mainan.
4. Mahalnya proses pengembangan produk baru. Perusahaan biasanya harus menghasilkan banyak ide untuk produk baru agar dapat memperoleh beberapa yang baik, lebih jauh lagi perusahaan harus menghadapi naiknya biaya-biaya penelitian dan pengembangan, pemanufakturan dan pemasaran.
5. Keterbatasan modal, Beberapa perusahaan dengan ide yang baik tidak dapat memperoleh modal yang cukup untuk melakukan penelitian.
6. Waktu pengembangan yang lebih cepat. Banyak pesaing sepertinya ingin mendapatkan ide yang sama pada saat yang sama, dan kemenangan akan diraih oleh phak yang paling cepat. Perusahaan-perusahaan yang waspada harus mempercepat waktu pengembangannya dengan menggunakan teknik desain dan pemanufakturan yang dibantu computer
7. Daur hidup yang lebih pendek. Ketika suatu produk baru berhasil, pesaing dengan cepat menirunya sehingga daur hidup produk baru menjadi lebih pendek. Sony biasanya menikmati tiga tahun lead time pada produk barunya. Sebelum produk-produk tersebut ditiru oleh pesaing-pesaingnya. Sekarang Matsusita dan para pesaing lainnya akan meniru suatu produk dalam waktu enam bulan, hampir tidak member waktu bagi Sony untuk mengembalikan investasinya.
Akan tetapi, ada beberapa elemen umum mencirikan peluncuran produk baru yang berhasil. Keberhasilan pengembangan produk baru menuntut perusahaan untuk membentuk organisasi yang efektif untuk mengelola proses pengembangan produk baru. Perusahaan harus menerapkan konsep dan kiat-kiat analisis pada setiap tahapan proses pengembangan produk baru.

b. Perencanaan Organisasi yang Efektif
Manajemen puncak pada akhirnya harus bertanggung jawab atas keberhasilan produk baru. Ia tidak dapat hanya meminta manajer produk baru member ide-ide besar. Pengembangan produk baru mengharuskan manajemen puncak menetapkan bidang bisnis dan katagori produk yang ingin dikembangkan perusahaan. Pada perusahaan makanan , manajer produk baru menghabiskan jutaan dolar untuk meneliti ide makanan kecil baru hanya untuk mendengarkan yang dikatakan presiden direkturnya, “Batalkan”. Kita tidak ingin terjun dalam usaha makanan kecil.
Manajemen puncak harus menentukan criteria khusus untuk penerimaan ide produk baru, khususnya pada perusahaan multidivisi, yang semua proyek diunggulkan oleh berbagai manajer. Keputusan utama yang dihadapi manajemen puncak adalah berapa besar anggaran untuk pengembangan produk baru. Hasil dari penelitian dan pengembangan adalah sangat tidak menentu, sehingga sulit untuk menggunakan criteria investasi normal untuk anggarannya.
Faktor kunci dalam pengerjaan pengembangan produk baru adalah menetapkan struktur organisasi efektif. Perusahaan menangani pengembangan produk baru dalam beberapa cara :
1. Manajer Produk . Beberapa perusahaan memberikan tanggung jawab ide produk baru kepada manajer produknya. Dalam prakteknya system ini memiliki kelemahan, manajer produk biasanya sibuk mengatur lini produk mereka sehingga mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk memikirkan produk baru.
2. Manajer Produk Baru. General Foods and Johnson & Johnson mempunyai manajer produk baru yang melaporkan kepada manajer produk. Posisi ini memprofesionalkan fungsi produk baru, pada sisi lain, manajer produk baru cenderung memikirkan modifikasi dan perluasan lini produk yang terbatas pada pasar produk mereka.
3. Komite Produk Baru. Kebanyakan perusahaan-perusahaan mempunyai komite manajemen tingkat tinggi yang bertanggun jawab untuk mempelajari dan memberikan persetujuan program produk baru.
4. Departemen Produk Baru. Perusahaan-perusahaan besar sering membentuk dapartemen produk baru yang dikepalai seorang manajer, yang mempunyai wewenang dan akses pengembangan produk baru.

c. Tahapan proses pengembangan produk
Ada delapan tahapan dalam proses pengembangan produk baru, yaitu pemunculan ide, penyaringan, pengujian dan pengembangan konsep, strategi pemasaran, analisis bisnis, pengembangan produk, pengujian pasar dan komersialisasi.
1. Pemunculan Ide
Proses pengembangan produk baru mulai dengan pencarian ide-ide. Pencarian seharusnya tidak terjadi sambil lalu atau kebetulan. Manajemen puncak harus menentukan produk dan pasar yang akan ditekankan. Manajemen puncak harus menyebutkan tujuan produk baru, arus kas, dominasi pasar, atau beberapa tujuan lain. ia harus menyebutkan berapa banyak usaha yang seharusnya diberikan untuk mengembangkan produk-produk terobosan, memodifikasi produk-produk yang ada, dan meniru produk-produk pesaing. Sumber ide produk baru dapat berasal dari banyak sumber seperti : pelanggan, ilmuwam, pesaing-pesaing, karyawan, anggota saluran, dan manajemen puncak. Teknik-teknik menghasilkan ide: Ide-ide yang benar-benar bagus barasal dari inspirasi, kerja keras, dan teknik-teknik. Sejumlah kreativitas dapat membantu individu dan tim untuk menghasilkan ide-ide yang lebih baik.
2. Pengembangan dan Pengujian Konsep
Ide yang menarik harus diperbaiki menjadi konsep produk yang dapat diuji, kita dapat membedakan antara ide produk, konsep produk dan citra produk. Ide Produk adalah suatu produk yang mungkin ditawarkan ke pasar oleh perusahaan. Konsep produk adalah versi yang lebih rinci dari suatu ide yang dinyatakan dalam istilah-istilah konsumen yang memberikan arti. Citra produk adalah gambaran khusus yang konsumen mendapatkan produk potensial dan aktual.
3. Pengembangan strategi pemasaran
Manajer produk baru harus mengembangakan rencana strategis pemasaran untuk memperkenalkan produk baru tersebut ke pasar. Rencana strategi pemasaran terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan ukuran, struktur, dan perilaku pasar, pemosisian produk terencana dan penjualan, pangsa pasar dan tujuan laba yang dicari dalam beberapa tahun, Bagian kedua dari strategi pemasaran menggambarkan harga yang direncanakan, strategi distribusi, dan anggaran pemasaran untuk tahun pertama dan Bagian ketiga, adalah menjelaskan penjualan jangka panjang dan sasaran laba serta strategi pemasaran selanjutnya.
4. Pengembangan Produk
Jika konsep produk dapat melewati pengujian bisnis, maka dilanjutkan ke departemen penelitian dan pengembangan dan atau bagian teknis untuk dikembangkan menjadi produk fisik. Sampai sekaran konsep ini hanya berupa penjelasan dalam kata-kata, gambar atau model structural (maket)
5. Uji Pasar
Setelah manajemen puas dengan kinerja fungsional dan psikologis produk, maka produk siap untuk dilengkapi dengan merek, kemasan, dan program pemasaran awal untuk menguji dalam kondisi yang lebih nyata.
6. Komersialisasi
Pengujian pasar rupanya memberikan cukup informasi kepada manajemen untuk memutuskan apakah akan meluncurkan produk baru. Jika perusahaan melanjutkannya dengan komersialisasi. Maka perusahaan akan menghadapi biaya yang sangat besar. Perusahaan akan harus mengontrak pabrik, atau membangun atau menyewa fasilitas pabrik berskala penuh. Pada komersialisasi produk, waktu masuk pasar dapat menjadi hal yang kritis. Misalkan perusahaan telah hampir menyelesaikan pekerjaan pengembangan produk barunya dan mendengar tentang satu pesaing menjelang akhir pekerjaan pengembangannya. Dalam hal ini perusahaan menghadapi tiga pilihan:
- Masuk Awal ; Perusahaan yang masuk ke pasar yang pertama biasanya menikmati berupa penguasaan atas distributor utama dan pelanggan serta meraih reputasi kepemimpinan.
- Masuk Paralel ; Perusahaan mungkin akan berusaha masuk bersamaan dengan pesaingnya. Jika pesaing mempercepat meluncurkan produknya, perusahaan akan melakukan hal yang sama ataupun jika pesaing menundanya maka perusahaan akan mengikutinya.
- Masuk terlambat ; Perusahaan mungkin menunda peluncuran sampai setelah pesaing masuk, ada tiga keunggulan potensial dengan strategi ini : pertema, pesaing akan menanggung biaya pendidikan pasar, kedua, pesaing akan mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang dapat dihindari yang masuk kemudian, dan ketiga perusahaan dapat mempelajari ukuran pasar.


d. Daur Hidup Produk
Daur hidup produk adalah konsep penting dalam pemasaran yang memberikan wawasan tentang dinamika kompetitif suatu produk, daur hidup produk menggambarkan tahapan-tahapan berbeda dalam sejarah penjualan suatu produk. Mengatakan bahwa suatu produk mempunyai daur hidup berarti menegaskan empat hal berikut : Pertama, Produk mempunyai waktu hidup yang terbatas, Kedua, Penjualan produk melewati tahapan-tahapan yang berbeda, setiap tahap memberikan tantangan yang berbeda bagi penjual, Ketiga, Laba naik dan turun pada tahap-tahap daur hidup produk yang berbeda dan Keempat, Produk membutuhkan strategi pemasaran , keuangan, pemanufakturan , pembelian dan personalia yang berbeda setaip tahap daur hidup mereka.
Daur hidup penjualan dan laba terdiri dari empat tahapan
- Perkenalan. Suatu periode pertumbuhan penjualan yang lambat ketika produk tersebut dikenalkan di pasar. Tidak ada laba pada tahap ini karena mahalnya biaya perkenalan produk.
- Pertumbuhan . Suatu periode penerimaan pasar yang cepat dan peningkatan laba yang substansial
- Kedewasaan. Suatu periode penurunan dalampertumbuhan pasar karena produk telah diterima oleh sebagian besar pembeli potensial. Laba stabil atau menurun karena peningkatan pengeluaranpemasaran untuk mempertahankan produk melawan persaingan.
- Penurunan. Periode ketika penjualan menunjukkan penuruan dan keuntungan berkuran.

e. Strategi Daur Hidup Produk
Strategi yang harus diterapkan perusahan pada masing-masing tahapan yang berbeda antara lain :
1. Strategi tahap perkenalan
- Strategi merayap dengan cepat : Dengan menetapkan harga tinggi dan promosi tinggi
- Strategi merayap dengan lambat : Dengan menetapkan harga tinggi dan promosi rendah
- Strategi penetrasi dengan cepat : Dengan menetapkan harga rendah dan promosi tinggi
- Strategi penetrasi dengan lambat : Dengan menetapkan harga rendah dan promosi rendah
2. Strategi tahap pertumbuhan
- Meningkatkan mutu. Cirri baru dan model
- Menambah model baru dan produk sampingan
- Memasuki segmen pasar baru
- Memasuki saluran distribusi baru
- Menyesuaikan iklan
- Menurunkan harga pada saat yang tepat
3. Strategi tahap kedewasaan
a. Modifikasi pasar
- Mengubah non pemakai menjadi pemakai
- Memasuki segmen pasar baru
- Merebut pelanggan pesaing
b. Modifikasi produk
- Meningkatkan mutu
- Meningkatkan ciri produk
- Meningkatkan model
c. Modifikasi marketing mix
- Harga
- Distribusi
- Iklan ( Biaya iklan, reposisioning dan media baru )
- Promosi penjualan (jaminan, hadiah, dan pertunjukan)
- Penjualan langsung
- Pelayanan ( Mempercepat pengiriman, penjualan kredit)
d. Strategi pemasaran dalam tahap penurunan
- Mengidentifikasi produk yang lemah
- Menentukan strategi pemasaran
- Keputusan penghentian

2.2. BRANDING
Menurut Kasmir (2004, 142), karena jasa memiliki beraneka ragam, maka setiap jasa harus memiliki nama. Tujuannya agar mudah dikenal dan diingat pembeli. Nama ini kita kenal dengan nama merek. Untuk berbagai jenis produk/jasa bank yang ada perlu diberikan merek tertentu, yang merupakan sesuatu untuk mengenal barang atau jasa yang ditawarkan. Pengertian merek sering diartikan sebagai nama, istilah, simbol, disain, atau kombinasi dari semuanya. Penciptaan merek harus mempertimbangkan factor-faktor, antara lain:
- Mudah dingat
- Terkesan hebat dan modern
- Memiliki arti
- Menarik perhatian
Merek adalah janji penjual untuk menyampaikan kumpulan sifat, manfaat dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli. Merek terbaik menjadi jaminan mutu. Merek merupakan sebuah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk megenali produk atau jasa dari seorang atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing (Kotler dan Amstrong, 1996).
McEnally dan Chernatony (1999) mengemukakan bahwa terdapat 6 tahap evolusi dari merek. Tingkat pertama: produk tanpa merek. Pada tingkatan pertama, barang atau produk diperlakukan sebagai komoditas dan banyak di antaranya yang tidak bermerek. Pada tingkatan ini biasanya dicirikan dengan akibat yang ditimbulkan oleh permintaan terhadap penawaran. Produsen hanya sedikit berupaya untuk member merek pada produk sehingga menghasilkan persepsi konsumen yang mendasarkan diri hanya pada manfaat produk tersebut.
Tingkat kedua: merek sebagai referensi. Pada tingkatan ini, stimulasi yang disebabkan oleh tekanan persaingan memaksa produsen untuk membedakan produknya dengan produk yang dihasilkan produsen lain. Deferensiasi tersebut mencapai perubahan fisik dari atribut produk. Ingatan konsumen dalam pengenalan produk mulai berkembang dengan lebih mengenal merek sebagai dasar dalam menilai konsistensi dan kualitas produk. Konsumen mulai menggunakan basis merek dalam memberikan citra dan menentukan pilihan mereka. Namun, konsumen masih menilai merek dengan mengutamakan kegunaan dan nilai produk. Kelompok konsumen utilitarian ini dideskripsikan oleh Csikszenmihalyi dan Rochberg-Harlton sebagai instrumental, dikarenakan mereka adalah konsumen yang dapat mencapai tujuan yang sebenarnya dan menikmatinya dalam penggunaan produk sebagai obyek.
Tingkat ketiga: merek sebagai kepribadian Pada tahapan ini, diferensiasi dalam merek pada atribut fungsional dan rasional menjadi semakin sulit sejalan dengan banyak produsen yang membuat klaim yang sama. Oleh karenanya pemasar mulai membuat kepribadian dalam merek yang mereka pasarkan.
Pada dua tingkatan sebelumnya, ada perbedaan antara konsumen dan merek. Merek adalah obyek dengan jarak tertentu yang dapat dihilangkan dari konsumen. Tetapi pada tahapan ini kepribadian (personality) merek dengan konsumen disatukan sehingga nilai suatu merek menjadi terekspresikan dengan sendirinya. Konstruksi sosial menjelaskan secara simbolis perilaku alamiah dari merek. Semua individu terlibat dalam proses transmisi, reproduksi dan transformasi arti sosial dari obyek. Sebagai konsumen, individu dalam suatu kelompok sosial menginterpretasikan informasi dari pemasar dalam periklanan dan mereka menggunakan merek untuk mengirim signal pada konsumen tentang diri mereka sendiri. Orang lain menginterpretasikan signal tersebut pada bentuk citra dan sikap pada pemakai merek. Jika pemakai tidak menunjukkan reaksi yang diinginkan, maka mereka harus mempertanyakan lagi keputusan untuk memilih merek tersebut. Proses pengkodean arti dan nilai dari merek dan penggunaan merek secara benar sudah aktif terlibat dalam citra merek pada konsumen.
Produk dan merek digunakan sebagai budaya untuk mengekspresikan dan menetapkan prinsipprinsip dan kategori budaya. Individu dapat diklasifikasikan dengan dasar merek. Sebagai contoh, kemewahan dalam mengendari Rolls Royces dan kurang mewahnya mengendarai Ford. Ketika produk dan merek menyeberangi batas budaya, kebingungan dapat berakibat pada nilai produk yang mungkin tidak memiliki nilai setinggi di tempat asalnya. Dengan demikian, nilai yang dikomunikasikan dengan produk dan merek harus konsisten dalam kelompok dan budayanya.
Tingkat keempat: merek sebagai IconPada tingkat ini merek ‘dimiliki’ oleh konsumen. Konsumen memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang merek yang mendunia dan menggunakannya untuk identitas pribadi mereka. Sebagai contoh, koboi Marlboro yang dikenal di seluruh dunia. Koboi yang bertabiat keras, lelaki yang melawan rintangan, tapi tidak kasar dan berpengalaman. Konsumen yang ingin disebut dirinya kuat, keras atau penyendiri seharusnya merokok Marlboro. Koboi tersebut merupakan simbol atau icon dari nilai yang terkandung dalam Marlboro.
Untuk dapat memasuki pikiran konsumen dengan baik, icon tersebut harus mempunyai beberapa asosiasi baik primer (mengenai produk) maupun yang sekunder. Sebagai contoh, sepatu Air Jordan mempunyai asosiasi primer dengan Michael Jordan dan asosiasi sekunder dengan Chicago Bulls dan kemenangan. Semakin banyak asosiasi yang dimiliki merek, semakin besar jaringan dalam memori konsumen dan semakin dapat disukai. Demikian, manajemen merek tersebut harus terus-menerus menemukan asosiasi yang memperkuat merek icon mereka.
Tingkat kelima: merek sebagai perusahaan Tingkatan ini ditandai dengan perubahan ke arah pemasaran postmodern. Disini merek memiliki identitas yang kompleks dan banyak keterhubungan antara konsumen dan merek. Karena merek sama dengan perusahaan, semua pemegang saham harus merasa bahwa merek (perusahaan) berada dalam mode yang sama. Perusahaan tidak dapat terlalu lama mengenalkan satu citra ke media dan citra lain kepada pemegang saham dan konsumen. Komunikasi dari perusahaan harus terintegrasi pada semua operasi. Komunikasi bagaimanapun tidak secara tidak langsung. Komunikasi mengalir dari konsumen ke perusahaan sebaik dari perusahaan ke konsumen, maka terjadilah dialog diantara keduanya. Pada tingkat kelima ini, konsumen menjadi lebih aktif terlibat pada proses kreasi merek. Mereka ingin berinteraksi dengan produk atau jasa untuk membangun nilai tambah.
Tingkat keenam: merek sebagai kebijakan Beberapa perusahaan sekarang telah memasuki tingkat dimana dibedakan dengan perusahaan lain dikarenakan sebab-sebab etika, social dan politik. Contoh paling utama dari tingkatan ini adalah The Body Shop dan Benetton. Konsumen punya komitmen dengan perusahaan untuk membantu membangun merek favoritnya dengan membeli merek tersebut. Dengan komitmen, mereka mengatakan bahwa mereka memiliki merek tersebut.
Pada tingkat lima dan enam nilai dari merek berubah. Sementara pada
tingkat satu sampai empat nilai merek adalah instrumental karena nilai tersebut membantu konsumen mencapai tujuan sebenarnya. Merek pada tingkat kelima dan enam memberikan contoh nilai akhir yang diharapkan oleh konsumen.
Pada tingkat ini konsumen memiliki merek, perusahaan dan kebijakannya. Perusahaan dapat memilih tingkat merek yang mana yang akan diterapkan, biasanya tingkat ketiga dan keempat yang banyak menjadi sasaran, sedangkan pada tingkat kelima dan keenam membutuhkan waktu yang cukup lama dan usaha yang sangat intensif.


2.2.1. Strategi Pemberian Merk
Strategi pemberian merek ini sangat penting bagi keberhasilan pemasaran suatu produk, karena merek dapat membedakan produk perusahan dengan produk pesaing, disamping itu identitas merek yang kuat akan memberikan image yang positif bagi perusahaan. Merek dapat berupa nama, merek dagang, logo atau simbol lain dan merek merupakan janji penjual untuk secara konsisiten memberikan feature, manfaat dan jasa tertentu kepada pembeli.
a. Menciptakan Kemasan
Kemasan merupakan pembungkus suatu produk. Dalam dunia perbankan kemasan lebih diartikan kepada pemberian pelayanan atau jasa kepada para nasabah di samping juga sebagai pembungkus untuk beberapa jenis jasanya seperti buku tabungan, cek, bilyet giro, atau kartu kredit. (Kasmir, 2004: 142).
b. Keputusan Label
Label merupakan sesuatu yang dilengketkan pada produk yang ditawarkan dan merupakan bagian dari kemasan. Di dalam label dijelaskan siapa yang membuat, dimana dibuat, kapan dibuat, cara menggunakannya, waktu kadaluwarsa, komposisi isi, dan informasi lainnya. (Kasmir, 2004: 142)
Dalam hal positioning, setiap merek harus bisa dibedakan dari merek lain. Namun perlu diingat diferensiasi butuh investasi besar (dalam komunikasi pemasaran). Sementara bagi pemasar yang memilih strategi biaya rendah tidak tersedia cukup anggaran buat komunikasi pemasaran, sehingga diferensiasi justru tidak disarankan. Untuk memikat konsumen pada merek dengan strategi biaya rendah, pemasar sebaiknya mengadopsi atribut-atribut intrinsik produk yang sudah terbukti sukses dengan strategi premium atau prestis. Jadi, strategi biaya rendah justru memilih kebalikan diferensiasi: identifikasi.
Dalam identifikasi, produk merujuk pada produk sukses lain dengan posisi pasar lebih bagus. Produk lain ini bisa berasal dari ‘grup yang sama’, atau bisa juga produk kompetitor yang sukses. Kesimpulannya, kebutuhan diferensiasi bergantung pada posisi produk pada dimensi harga; harga tinggi cocok untuk diferensiasi dan harga rendah memerlukan identifikasi. Selain itu, identifikasi tidak dimungkinkan bila tak ada produk yang posisinya lebih tinggi di pasar. Dalam identifikasi, yang dirujuk justru merek yang berbasis diferensiasi. Sehingga, discount brand akan kurang berhasil jika merek tak memiliki poin rujukan di level yang lebih tinggi. Maka sementara orang berpendapat, kesuksesan private label bisa dibilang berhutang budi pada merek pabrikan yang sukses di kategori produk itu. Mungkin karena itulah ada argumen yang bilang bahwa merek pemimpin pasar sebenarnya turut mengiklankan merek-merek kecil.

2.2.2. Strategi Ekstensi Merek untuk membangun portofolio merek
Strategi merek yang sukses membuat penetrasi ke berbagai pasar lebih mudah dilakukan. Strategi ekstensi dan strategi endorsemen adalah dua strategi merek yang mencoba untuk memanfaatkan kapitalisasi nama merek yang sudah ada. Di antara merek-merek yang terbilang sukses di Amerika, konon tidak kurang dari 66% lahir dari perluasan lini atau merek. Sebuah riset menyimpulkan bahwa asalkan pesan komunikasi pemasarannya tepat, efektivitas iklan berpeluang lebih besar bagi merek hasil ekstensi ketimbang peluncuran merek yang sepenuhnya baru.
Pada strategi perluasan (extension strategy), produk baru memperoleh nama merek yang sudah dipakai produk lain. Misalnya, Christian Dior meluncurkan Capture, produk anti-ageing liposome complex untuk kulit wajah. Kesuksesan produk ini kemudian mendorong Dior meluncurkan sejumlah lini produk lain, seperti eye shapers, lip shapers dan kemudian produk-produk lain untuk anggota tubuh lainnya dengan tetap mengeksploitasi merek Capture. Begitu pula halnya perusahaan Jerman Beiersdorf yang memakai merek Nivea (produk aslinya: krim kulit) guna melansir sejumlah produk perawatan tubuh lain.
Produk asli biasanya disebut produk induk, sementara produk baru dengan nama sama disebut produk perluasan atau turunan. Berdasarkan ‘jarak’ antara produk induk dan produk perluasan, kita bisa membeda-bedakannya menjadi perluasan atau ekstensi konsep, merek, atau lini. Dalam hal perluasan lini atau ekstensi lini, produk induk dan produk perluasan memiliki kategori produk yang sama, misalnya kategori produk perawatan tubuh. Perluasan atau ekstensi merek terjadi bila produk induk dan perluasan berada pada kategori produk yang berbeda, tapi masih memiliki tipe produk yang sama. Misalnya, merek Pepsodent dipakai untuk dua kategori produk: kategori pasta gigi dan sikat gigi. Lantaran keduanya merupakan produk perawatan gigi, maka mereka tidak berbeda dalam tipe produk.
Merek-merek yang digunakan untuk tipe produk yang berbeda dikatakan menerapkan strategi perluasan atau ekstensi konsep. Misalnya, nama Caterpillar dipakai untuk mesin ekskavator (tipe produk: mesin) dan sepatu (perlengkapan busana), sedangkan merek Virgin dipakai untuk label kaset, toko musik, vodka, soft drink, maskapai penerbangan, perusahaan kereta api, dan masih banyak lagi.
2.2.3. Akuisisi untuk Membangun Portofolio Merek
Dibandingkan dengan pengembangan merek sendiri, akuisisi merek menawarkan cara cepat dalam membangun portofolio merek. Anda mungkin telah mengetahui merek-merek lokal yang telah diakuisisi oleh perusahaan multinasional tak kurang dari obat nyamuk Tiga Roda (Reckit Benckiser), saos tomat dan sambal ABC (oleh HJ Heinz), susu SGM (Royal Numico), air mineral Aqua (Danone), kecap cap Bango, teh Sariwangi dan makanan kudapan Taro (Unilever), biskuit Helios dan Nyam-Nyam (Arnott’s/Campbell).
Tidak jarang transaksi akuisisi melibatkan jumlah dana yang maha besar. Di sektor produk makanan, misalnya, perusahaan raksasa Philip Morris secara sistematis membangun portofolio merek dan posisi yang kuat di pasar dunia melalui akuisisi (antara lain perusahaan membeli Kraft, General Foods dan Jacobs Suchard). Untuk mencaplok Kraft –pemilik merek Kraft, Miracle Whip, dan Breyers— Philip Moris mengeluarkan dana tak kurang dari US $ 13 milyar. Contoh lain adalah United Biscuits, yang membayar lebih dari € 131 juta untuk mengakuisisi perusahaan Belanda Verkade di tahun 1990. Harga beli per lembar saham Verkade 24 kali lipat laba per sahamnya.
Kriteria terpenting akuisisi merek pada umumnya adalah posisi pasar yang dikuasai. Karena itu dalam strategi ini, kontrol atas posisi pasar yang diinginkan bisa maksimal. Hanya saja investasi finansial dalam akuisisi merek amat tinggi. Di tengah-tengah gelombang merger dan akuisisi, didorong oleh upaya sengit memperebutkan posisi penting di pasar, sejumlah transaksi pasar melambungkan harga perusahaan yang menguasai merek-merek potensial. Bagi pemasar, surplus ini adalah bukti bahwa merek tidak saja penting secara stratejik bagi perusahaan (misalnya meraup pangsa pasar), tapi juga penting secara finansial.

2.2.4. Brand Usage dan Brand Loyalty
Menyangkut penggunaan merek dan loyalitas merek, sejumlah segmen bisa dibedakan: brand-loyal user (pemakai loyal merek tertentu), brand switcher (pemakai yang suka ganti-ganti merek), pemakai baru dan bukan pemakai.
1. Brand loyal Users Beberapa konsumen hanya memakai satu merek. Ini disebut sebagai undivided brand loyalty. Upaya pemasaran yang diperlukan pada segmen ini adalah menjaga konsumen tetap loyal, yang disebut “Shepherd’ atau Retention Marketing.
2. Brand Switcher Konsumen mungkin masih memakai dua merek atau lebih, karena bergantung pada situasi, harga (price buyer), atau karena konsumen masih mencari-cari dan belum menemukan merek yang mereka inginkan. Pemakaian merek lain mungkin terjadi di saat-saat tertentu saja, dan konsumen mungkin kembali pada merek semula. Ini juga bisa disebut ‘divided brand loyalty’, menggunakan 2 merek atau lebih sama seringnya. Pemasar berusaha mengubah pelanggan yang setengah loyal ini menjadi ‘undivided brand loyalty’. Alasan mengapa konsumen-konsumen ini tidak mau memilih satu merek mesti dipelajari. Lebih mudah mengubah orang yang ganti-ganti merek menjadi loyal pada satu merek ketimbang membujuk orang yang sudah loyal pada satu merek agar mau menggunakan merek lain. Ada beberapa alasan mengapa orang ganti-ganti merek. Mungkin konsumen belum menemui merek yang persis diinginkannya dan ganti-ganti merek untuk coba-coba sebelum akhirnya memilih satu merek saja. Konsumen lain berusaha mendapat harga murah (price buyer) dan membeli merek yang sedang diobral. Ada pula yang membeli merek berbeda-beda untuk kesempatan yang berbeda, misalnya satu merek soft drink untuk dipakai sendiri dan merek lain untuk pesta.
3. New User (Pemakai Baru) Mereka adalah konsumen yang baru memasuki pasar, misalnya pemuda yang baru memulai hidupnya sendiri, atau orang yang baru pindah ke suatu daerah. Mereka adalah kelompok sasaran yang menarik bagi pasar karena mereka bisa menjadi loyal pada merek dalam jangka waktu lama. Di negara-negara Barat, ‘usaha jasa pemberian ucapan selamat’ membagikan sampel gratis berbagai merek/produk (kopi, teh, koran, majalah dan sebagainya) dan memberi diskon pada toko-toko lokal bagi pengantin baru atau orang yang baru pindah rumah. ‘Transisi hidup’ ini acap diiringi perubahan dalam hal loyalitas konsumen terhadap merek dan toko.
4. Non-User (Bukan Pemakai) Mereka adalah konsumen yang memutuskan tidak mengkonsumsi produk tertentu sama sekali misalnya: orang yang anti rokok atau minuman keras, atau sejumlah orang Jepang yang bersumpah tidak akan pernah membeli mobil buatan Amerika lantaran memori Perang Dunia II. Mereka bukanlah kelompok sasaran yang menarik bagi pemasar, karena orang-orang ini sudah jelas memutuskan untuk tidak memakai produk atau merek. Tidaklah etis misalnya, membujuk seseorang yang anti rokok untuk coba-coba mulai merokok.

2.2.5. Citra Merek
Kata citra biasanya menunjukkan gambaran yang dimiliki seseorang tentang sesuatu atau seseorang, atau dalam makna khusus, ‘pendapat stereotipikal publik umum tentang seseorang atau sesuatu’. Gambaran visual ini mungkin didasarkan pada ciri konkrit obyek atau orang tertentu serta segala jenis aspek imaterial atau aspek tak relevan.
Kita kerap telah membentuk citra tentang sesuatu atau seseorang walau belum bersentuhan dengan obyek atau subyek tadi. Gardner dan Levy mungkin penulis pertama yang memakai istilah ‘citra’ dalam konteks pemasaran. David Ogilvy akhirnya jadi perintis yang menekankan pentingnya citra dalam iklan. Aspek penting pada citra merek adalah gambaran mental yang dimiliki konsumen terhadap produk atau merek. Citra merek didefinisikan sebagai gambaran mental subyektif tentang merek yang sama-sama dianut sekelompok konsumen. Tergantung sejauh mana konsumen terekspos komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumsi mereka dengan produk itu, visualisasi citra merek biasanya cukup rinci.
Terdapat tiga komponen citra merek: konten, favorabilitas, dan kekuatan. Komponen-komponen ini biasanya tercermin pada hasil pengukuran citra melalui uji diferensial semantik. Dalam penerapan teknik pengukuran ini, konsumen diminta memberi evaluasi terhadap skala bipolar yang berbeda (seperti ‘bermutu rendah versus bermutu tinggi’ dan ‘kuno versus modern’). Setiap skala terdiri dari lima atau tujuh posisi. Dalam memproses hasilnya, posisi di bagian kiri biasanya bernilai negatif, posisi tengah bernilai nol dan posisi terjauh di sebelah kanan ditandai positif. Pada Bagan ditampilkan skala tujuh-poin, dengan kutub ‘kuno versus modern’. Berdasarkan teknik pengukuran ini, tidak hanya konten citra merek yang ditentukan (apakah merek dirasa kuno atau modern), tapi juga favorabilitas (negatif versus positif) dan derajat kekuatan (sejauh mana asosiasi dirasa negatif atau positif).
Konten citra merek mengacu pada asosiasi yang mungkin dibangkitkan oleh sebuah merek. Sebagian merek membangkitkan banyak asosiasi, sementara lainnya sedikit saja. Asosiasi bisa saja terkait dengan kognisi (pengetahuan) dan perasaan, namun bisa juga, misalnya, terkait dengan bau dan bunyi.
Penelitian citra merek pada sejumlah merek margarin di Belanda antara lain menunjukkan bahwa ketika ditanya asosiasi merek, maka konsumen lebih banyak menyebutkan aspek-aspek dari pesan iklan. Namun, dalam citra perlu dibedakan antara manifest content dan latent content. Asosiasi yang bisa diverbalkan secara langsung oleh konsumen membentuk manifest content citra merek. Latent content citra merek mengacu pada asosiasi yang oleh konsumen tidak langsung disebutkan, tapi bisa diukur dengan teknik tertentu (misalnya, diferensial semantik pra-desain). Jika kemudian peneliti ‘membantu’ konsumen dengan menanyai pendapat mereka atas sejumlah dimensi yang tidak mereka sebut secara spontan, maka ternyata konsumen memiliki citra merek yang jelas dan mampu menggambarkan profil merek.
Pemasar bisa memilih berbagai metode untuk mengukur citra bergantung pada sedalam apa citra telah menancap di benak konsumen. Sejauh mana elaborasi citra merek juga bergantung pada pilihan positioning. Merek yang diposisikan secara fungsional diharapkan bisa membentuk asosiasi yang lebih konkret ketimbang merek yang diposisikan secara ekspresif.
Mengenai konten merek, kita bisa bedakan antara asosiasi merek material dan imaterial. Asosiasi merek material bisa dibagi menjadi asosiasi yang mengacu pada sifat aspek material tertentu (seperti keandalan dan keawetan) dan asosiasi yang mengacu pada ada atau tiadanya atribut tertentu. Kategori pertama terkait dengan karakteristik yang sama-sama dimiliki semua produk di kategori itu, tetapi sifatnya bisa berbeda untuk masing-masing merek. Sebagai contoh, semua kamera punya lensa, tapi merek Hasselblad membentuk asosiasi dengan lensa berkualitas tinggi.
Aspek lain asosiasi merek material adalah asosiasi yang menunjukkan ada atau tidak adanya atribut tertentu. Merek Citroën, misalnya, akan membangkitkan asosiasi pada sistem suspensi yang unik. Asosiasi merek imaterial mengarah pada aspek-aspek yang tak terkait dengan produk (fisik). Contoh-contohnya bisa dikaitkan dengan gaya hidup atau dunia pengalaman tertentu.
Pada dasarnya, favorabilitas citra merek bisa memiliki dua nilai: negatif atau positif. Subyeknya disini bukanlah konten aktual asosiasi itu, tapi ‘perasaan’ yang dialami konsumen pada setiap asosiasi (dan lalu khususnya arah perasaannya: negatif atau positif). Misalnya, mobil-mobil buatan Alfa-Romeo dulu diasosiasikan dengan karat (asosiasi negatif) sekaligus dengan daya akselerasi tinggi (asosiasi positif).
Kekuatan citra merek terkait dengan sejauh mana asosiasi dihubungkan dengan merek itu (‘saya mengasosiasikan Nivea pada kelembutan dan warna biru; meski asosiasi pada kelembutan lebih kuat’). Istilah umum untuk favorabilitas dan kekuatan adalah reputasi. Reputasi sebuah merek dikaitkan dengan sejauh mana merek bisa menimbulkan asosiasi positif dan kuat. Kata ‘reputasi’ sering dipakai guna menunjukkan kesan global sebuah merek. Merek dengan reputasi sangat positif umumnya adalah merek-merek yang didasarkan pada strategi prestis (lihat, misalnya, Rolls-Royce, sebuah merek dengan reputasi sangat bagus di bidang mesin mobil maupun mesin pesawat).

2.3. PRICING
Harga merupakan unsur bauran pemasaran yang memberikan pendapatan bagi organisasi. Keputusan mengenai harga (terutama dalam konteks pemasaran jasa) tidak mudah dilakukan. Di satu sisi, harga yang terlalu mahal bisa meningkatkan laba jangka pendek, tetapi disatu sisi lain akan sulit dijangkau konsumen dan sukar bersaing dengan competitor. (Fandy Tjiptono, 2005: 178).
Menurut Valerie dan Jo Bitner (1996: 491), seperti yang dikutip oleh Susilowati (2002, 28), ada 3 pendekatan dalam penetapan harga jasa yaitu :
1) Pendekatan biaya (cost based Pricing): pada metode ini penentuan harga ditetapkan berdasarkan pada pengeluaran biaya bahan baku dan tenaga kerja kemudian biaya tersebut ditambahkan dengan presentase dari biaya overhead dan keuntungan. Pada metode ini memang agak sulit diterapkan dalam industri perbankan karena sulit mengukur alokasi waktu dan biaya dari petugas yan melayani, dalam prakteknya penentuan biaya tabungan dengan metode ini didasarkan pada tingkat bungan yang ditentukan oleh Bank Indonesia serta dengan memperhatikan cost of loanable fund (biaya dana) bank.
2) Pendekatan pesaing (competition-based pricing): pada metode ini, penentuan harga pesaing dan industri atau pasar yang sejenis akan menjadikan pembanding dalam strategi penetapan harga.
3) Pendekatan permintaan (demand- based pricing): pada metode ini, penentuan harga didasarkan pada persepsi pelanggan mengenai nilai yang akan diterima. Harga ditetapkan berdasarkan ketersediaan pelanggan untuk membayar barang/jasa yan disediakan, faktor “non monetary cost” dan manfaat akan berpengaruh dalam penentuan harga yang akan dibebankan kepada nasabah.
Strategi penetapan harga ditentukan oleh keputusan manajemen tentang bauran produk, kualitas produk, dan merek produk. Strategi distribusi juga mempengaruhi pilihan mengenai bagaimana harga akan berhasil di dalam kombinasi strategi periklanan dengan armada penjualan. Strategi penetapan harga mempengaruhi keputusan elemen bauran pemasaran lainnya. Karena, harga itu sendiri merupakan salah satu elemen bauran pemasaran. Dalam prosesnya strategi penentapan harga berlangsung penentuan tujuan, analisis situasi, pemilihan strategi, penentuan harga khusus dan kebijakan. Banyak bisnis menggunakan strategi penetapan harga untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Hal tersebut, ialah untuk mendapatkan posisi pasar, mencapai kinerja keuangan, penentuan posisi produk, dan mempengaruhi persaingan. Selain demikian dua kecenderungan pun hadir dalam penggunaan harga sebagai variabel strategis. Pertama, bisnis merancang harga secara fleksibel untuk mengatasi perubahan dan ketidakpastian. Kedua, harga seringkali digunakan sebagai elemen strategis bisnis dan pemasaran secara aktif. Analisis terhadap situasi penetapan harga dilakukan untuk mengembangkan strategi terhadap kurva lini produk atau memilih strategi penetapan harga terhadap suatu produk maupun merek baru. Penekanan formulasi strategi ditempatkan pada beberapa kegiatan penting yang mencakup analisis pasar, analisis produk, analisis persaingan termasuk pertimbangan hukum dan etika. Analisis tersebut, menunjukan luasnya daya lenting penetapan harga. Penetapan harga dapat didekati dari strategi sangat aktif, aktif, hampir aktif. Penetapan harga khusus dilakukan berdasarkan biaya, persaingan dan atau permintaan. Dalam keberadaannya pelaksanaan dan pengelolaan strategi penetapan harga mencakup penetapan kebijakan-kebijakan. Akhirnya, beberapa pertimbangan penetapan harga khusus terungkap, yaitu: saluran distribusi, daur hidup produk, hubungan kualitas dengan harga yang tidak

2.3.1. Strategi Harga
Berbicara mengenai strategi harga, pemasar bisa menerapkan strategi harga produk baru, strategi harga untuk bauran produk, strategi penyesuaian harga dan strategi perubahan harga.
Kebijakan penetapan harga untuk produk baru merupakan kebijakan krusial dalam pemasaran. Kebijakan ini akan sangat tergantung pada jenis produk yang ditawarkan. Apakah produk merupakan kelompok produk inovatif ataukah termasuk kelompok produk imitatif. Jika produk dalam kelompok produk inovatif, maka terdapat dua strategi yang bisa diimplementasikan, yaitu market-skimming pricing dan market-penetration pricing. Kebijakan untuk bauran produk bisa bermacam-macam mulai dari optional product pricing hingga product bundle pricing. Penyesuaian harga akan lebih banyak variasi dalam peneltan harga, serta strategi penyesuaian harga baik harga naik, turun atau yang lain.
Dalam mencermati strategi harga kita sering mendengar strategi harga produk jasa penerbangan di Indonesia. Penerbangan di Indonesia, sekalipun sering bermasalah, namun tetap saja laku. Citilink adalah konsep layanan penerbangan yang melayani jalur pendek antar kota, yah kalau didarat seperti bus antar kota dalam propinsi.
Seperti dijelaskan dalam Principle of Marketing oleh Kotler,strategi-strategi penetapan harga berubah karena produk tersebut menjalani siklus hidupnya.Seperti halnya fenomena penerbangan indonesia,khususnya penerbangan Citylink yang sedang hangat di bicarakan saat ini.Strategi penetapan harga produk baru yang dijalankan oleh penerbangan citylink adalah Penentuan harga mengambil sebagian pasar (market-skimming pricing).
Hal ini terlihat dari penetapan harga tiket pesawat Citylink yang ditawarkan terlalu tinggi bagi sebagian kalangan. Mungkin Citylink menargetkan pasar sasarannya adalah kalangan atas yang benar-benar membutuhkan jasa penerbangan ini.Bisa juga harga yang tinggu ini karena citylink menginginkan pasar sendiri yang tidak mudah di masuki pesaing dan menciptakan imej yang baik. Tetapi pihak Citylink juga tidak boleh lengah dengan adanya reaksi-reaksi pembeli dan pesaing,ini yang membuat perusahaan menurunkan harga atau mungkin menaikkan harga.Dalam menetapkan harga Citylink juga tidak bisa seenaknya, banyak hukum federal,negara ,dan lokal yang sehat dalam penetapan harga.

BAB III
KESIMPULAN
semakin produk mempunyai kelebihan dibandingkan dengan product lain apalagi sampai pada level 3 dibandingkan brand lain maka produk itu unggul mutlak, maka makin tinggilah produk tersebut dimata customer. Sehingga produk tersebut secara value lebih tinggi dibandingkan dengan produk lainnya.
Produk barang yang dijual perusahaan berbeda dari produk jasa karena di situ juga mencakup pengalihan hak milik produk barang tangible. Bahkan, komponen intangible memiliki peran yang begitu penting dalam menentukan kepuasan pelanggan sekaligus mempertahankan agar pelanggan tetap puas. Untuk menggarisbawahi hal ini, kita akan mengacu pada tawaran pasar perusahaan sebagai jasa mereka dan menunjukkan bahwa jasa-jasa ini bisa dipecah menjadi empat komponen utama: produk fisik, produk jasa, lingkungan jasa dan delivery jasa. Keseluruhannya mesti dipadukan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Setelah perusahaan mensegmentasi pasar, memilih kelompok pasar sasarannya dan menentukan posisi pasar yang diinginkannya, perusahaan tersebut siap mengembangkan dan meluncurkan produk yang layak dan diharapkan berhasil di pasar. Manajemen pemasaran memainkan peranan kunci dalam proses ini. Daripada menugaskan Departemen R&D untuk mengembangkan produk baru, departemen pemasaran berpartisipasi aktif dengan departemen-departemen lainnya pada setiap tahapan dalam proses pengembangan produk.
Setiap perusahaan harus melakukan pengembangan produk baru. Penggantian produk harus ditemukan untuk memelihara dan membangun penjualan masa depan. Lagi pula pelanggan menginginkan produk baru, dan pesaing-pesaing akan melakukan yang terbaik untuk memasok mereka.
Perusahan dapat menambah produk baru melalui akuisisi atau pengembangan produk baru. Jalur akuisisi dapat dilakukan dalam tiga bentuk. Perusahaan dapat membeli perusahaan lain. Telah terjadi gelombang akuisisi perusahaan pada tahun-tahun terakhir yang bertujuan mengambil produk baru: Sony membeli Columbia Picture ; Philips Moris mengambil alih General Food dan Kraft; General Elekctrik membeli RCA, Matsusita membeli MCA. Perusahaan ini dapat mengambil paten-paten terpilih dari perusahaan lain.
Perusahaan juga dapat membeli lisensi atau waralaba dari perusahaan lain. Jalur pengembangan produk baru dapat dalam dua bentuk. Perusahaan dapat mengembangkan produk baru dilaboratoriumnya. Perusahaan juga dapat mengontrak peneliti independen atau perusahaan pengembangan produk baru, untuk mengembangkan produk tertentu bagi perusahaan.
Banyak perusahaan terus tumbuh melalui akuisisi dan pengembangan produk baru. Manajemen mereka merasa bahwa peluang terbaik mungkin terletak pada akuisisi pada suatu waktu tertentu, dan melakukan pengembangan produk pada kesempatan lain, yang mereka ingin menjadi bertambah ahli dalam keduanya. Dalam pembahasan ini yang dimaksud produk baru meliputi, produk asli, produk yang dikembangkan, produk yang dimodifikasi dan merek baru yang perusahaan mengembangkannya melalui upaya-upaya penelitian dan pengembangannya.
Dengan adanya tingkat persaingan yang ketat di sebagian besar pasar sekarangini, perusahaan-perusahaan yang gagal mengembangkan produk barunya menghadapakan dirinya pada risiko yang besar. Produk-produk mereka mudah terkena perubahan kebutuhan dan selera pelanggan, teknologi baru, daur hidup yang pendek, dan persaingan domestic dan luar negeri yang meningkat.
Pada saat yang bersamaan, pengembangan produk baru juga beresiko. Texas Instruments menderita kerugian sebesar US 350 Juta sebelum mundur dari bisnis computer, RCA rugi US 575 Juta pada pemutar piringan video, DuPond mengalami kerugian kira-kira US 100 Juta pada kulit sintetis yang disebut Corfam, dan perusahaan penerbangan Concorde tidak dapat mengembalikan investasinya.
Mengapa produk baru mengalami kegagalan? Ada beberapa factor menyebabkannya. Eksekutif tingkat tinggi mungkin memaksakan ide yang disukainya walaupun mendapatkan informasi negative dari penelitian pasar, Barangkalai idenya bagus tapi terlampau tinggi dalam memperkirakan ukuran pasarnya, mungkin juga produk sesungguhnya mempunyai rancangan yang jelek. Dapat juga produk tersebut diposisikan dengan keliru di pasar, tidak diiklankan secara efektif, atau dijual dengan harga yang terlalu mahal. Seringkali biaya-biaya pengembangan produk baru lebih tinggi dari yang direncanakan , atau para pesaing menyerang balik dengan lebih keras dari yang diharapkan.
Ada beberapa factor yang menghambat pengembangan produk baru yang berhasil :
- Kurangnya ide produk baru yang penting dalam bidang-bidang tertentu. Hanya ada sedikit cara yang dapat meningkatkan produk-produk seperti baja, sabun cuci, dan sebagainya.
- Pasar yang terbagi bagi. Persaingan yang tajam mengakibatkan terjaninya pembagian pasar. Perusahaan harus mengarahkan produk barunya pada segmen pasar yang lebih kecil, dan itu berarti penjualan dan laba yang lebih rendah untuk tiap produknya.
- Kendala social dan Pemerintahan. Produk baru harus memuaskan masyarakan seperti keselamatan konsumen dan keseimbangan lingkungan. Peraturan pemerintah telah memperlambat inovasi dalam industry obat, dan telah memperumit desain produk dan keputusan periklanan dalam industry-industri peralatan, kimia, mobil dan mainan.
- Mahalnya proses pengembangan produk baru. Perusahaan biasanya harus menghasilkan banyak ide untuk produk baru agar dapat memperoleh beberapa yang baik, lebih jauh lagi perusahaan harus menghadapi naiknya biaya-biaya penelitian dan pengembangan, pemanufakturan dan pemasaran.
- Keterbatasan modal, Beberapa perusahaan dengan ide yang baik tidak dapat memperoleh modal yang cukup untuk melakukan penelitian.
- Waktu pengembangan yang lebih cepat. Banyak pesaing sepertinya ingin mendapatkan ide yang sama pada saat yang sama, dan kemenangan akan diraih oleh phak yang paling cepat. Perusahaan-perusahaan yang waspada harus mempercepat waktu pengembangannya dengan menggunakan teknik desain dan pemanufakturan yang dibantu computer
- Daur hidup yang lebih pendek. Ketika suatu produk baru berhasil, pesaing dengan cepat menirunya sehingga daur hidup produk baru menjadi lebih pendek. Sony biasanya menikmati tiga tahun lead time pada produk barunya. Sebelum produk-produk tersebut ditiru oleh pesaing-pesaingnya. Sekarang Matsusita dan para pesaing lainnya akan meniru suatu produk dalam waktu enam bulan, hampir tidak member waktu bagi Sony untuk mengembalikan investasinya.
- Akan tetapi, ada beberapa elemen umum mencirikan peluncuran produk baru yang berhasil. Keberhasilan pengembangan produk baru menuntut perusahaan untuk membentuk organisasi yang efektif untuk mengelola proses pengembangan produk baru. Perusahaan harus menerapkan konsep dan kiat-kiat analisis pada setiap tahapan proses pengembangan produk baru.
Merek adalah janji penjual untuk menyampaikan kumpulan sifat, manfaat dan jasa spesifik secara konsisten kepada pembeli. Merek terbaik menjadi jaminan mutu. Merek merupakan sebuah nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk megenali produk atau jasa dari seorang atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing.
Dalam hal positioning, setiap merek harus bisa dibedakan dari merek lain. Namun perlu diingat diferensiasi butuh investasi besar (dalam komunikasi pemasaran). Sementara bagi pemasar yang memilih strategi biaya rendah tidak tersedia cukup anggaran buat komunikasi pemasaran, sehingga diferensiasi justru tidak disarankan. Untuk memikat konsumen pada merek dengan strategi biaya rendah, pemasar sebaiknya mengadopsi atribut-atribut intrinsik produk yang sudah terbukti sukses dengan strategi premium atau prestis. Jadi, strategi biaya rendah justru memilih kebalikan diferensiasi: identifikasi.
Dalam identifikasi, produk merujuk pada produk sukses lain dengan posisi pasar lebih bagus. Produk lain ini bisa berasal dari ‘grup yang sama’, atau bisa juga produk kompetitor yang sukses. Kesimpulannya, kebutuhan diferensiasi bergantung pada posisi produk pada dimensi harga; harga tinggi cocok untuk diferensiasi dan harga rendah memerlukan identifikasi. Selain itu, identifikasi tidak dimungkinkan bila tak ada produk yang posisinya lebih tinggi di pasar. Dalam identifikasi, yang dirujuk justru merek yang berbasis diferensiasi. Sehingga, discount brand akan kurang berhasil jika merek tak memiliki poin rujukan di level yang lebih tinggi. Maka sementara orang berpendapat, kesuksesan private label bisa dibilang berhutang budi pada merek pabrikan yang sukses di kategori produk itu. Mungkin karena itulah ada argumen yang bilang bahwa merek pemimpin pasar sebenarnya turut mengiklankan merek-merek kecil.
Harga merupakan unsur bauran pemasaran yang memberikan pendapatan bagi organisasi. Keputusan mengenai harga (terutama dalam konteks pemasaran jasa) tidak mudah dilakukan. Di satu sisi, harga yang terlalu mahal bisa meningkatkan laba jangka pendek, tetapi disatu sisi lain akan sulit dijangkau konsumen dan sukar bersaing dengan competitor.
Strategi penetapan harga ditentukan oleh keputusan manajemen tentang bauran produk, kualitas produk, dan merek produk. Strategi distribusi juga mempengaruhi pilihan mengenai bagaimana harga akan berhasil di dalam kombinasi strategi periklanan dengan armada penjualan. Strategi penetapan harga mempengaruhi keputusan elemen bauran pemasaran lainnya. Karena, harga itu sendiri merupakan salah satu elemen bauran pemasaran. Dalam prosesnya strategi penentapan harga berlangsung penentuan tujuan, analisis situasi, pemilihan strategi, penentuan harga khusus dan kebijakan.
Banyak bisnis menggunakan strategi penetapan harga untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Hal tersebut, ialah untuk mendapatkan posisi pasar, mencapai kinerja keuangan, penentuan posisi produk, dan mempengaruhi persaingan. Selain demikian dua kecenderungan pun hadir dalam penggunaan harga sebagai variabel strategis. Pertama, bisnis merancang harga secara fleksibel untuk mengatasi perubahan dan ketidakpastian. Kedua, harga seringkali digunakan sebagai elemen strategis bisnis dan pemasaran secara aktif. Analisis terhadap situasi penetapan harga dilakukan untuk mengembangkan strategi terhadap kurva lini produk atau memilih strategi penetapan harga terhadap suatu produk maupun merek baru. Penekanan formulasi strategi ditempatkan pada beberapa kegiatan penting yang mencakup analisis pasar, analisis produk, analisis persaingan termasuk pertimbangan hukum dan etika. Analisis tersebut, menunjukan luasnya daya lenting penetapan harga.
Penetapan harga dapat didekati dari strategi sangat aktif, aktif, hampir aktif. Penetapan harga khusus dilakukan berdasarkan biaya, persaingan dan atau permintaan. Dalam keberadaannya pelaksanaan dan pengelolaan strategi penetapan harga mencakup penetapan kebijakan-kebijakan. Akhirnya, beberapa pertimbangan penetapan harga khusus terungkap, yaitu: saluran distribusi, daur hidup produk, hubungan kualitas dengan harga yang tidak

DAFTAR PUSTAKA
Yussy Santoso dan Ronnie Resdianto, Brand sebagai Kekuatan Perusahaan dalam Persaingan Global, Jurnal Business and Management Bunda Mulia, Vol. 3, No.2, September 2007.
Emmy Indrayani, Loyalitas Merk sebagai Dasar Strategi Penentuan Harga, Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma.